Jumat, 13 Januari 2012

Peranan Partai Politik dalam Konsolidasi Demokrasi Pasca Reformasi



1.                  Judul Penelitian
PERANAN PARTAI POLITIK DALAM KONSOLIDASI DEMOKRASI PASCA REFORMASI
2.                  Latar Belakang Masalah
Secara umum proses transisi politik dari otoritarian menuju demokratisasi yang salah satunya dicerminkan dalam pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung, telah terperangkap menjadi sistem yang oligarkis baik di lingkungan partai politik maupun di lembaga-lembaga politik. Politik oligarkis ini telah menghasilkan aturan UU Bidang Politik, didasarkan atas kompromi-kompromi politik yang sangat oportunistik.
Dalam pembentukan koalisi yang tidak semata-mata didasari eksklusivitas ideologi dalam proses pemilihan presiden, disatu sisi merupakan kabar yang menggembirakan bagi proses demokratisasi. Namun di sisi lain, cairnya koalisi politik ini bisa mengkhawatirkan, sebab, orientasi kekuasaan dan pembagian “harta negara” oleh partai politik, menjadi terbuka sedemikian lebar. Karena pertimbangan pragmatisme politik ini pula, maka intensitas koalisi akan berjalan serba instan dan cepat, tanpa memperhatikan aspirasi dan suara rakyat.
Kinerja partai politik, alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, partai-partai politik, ternyata asyik dengan kepentingannya sendiri. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan  begitu saja: kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal, ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dan lain-lian. Semuanya itu tampak tidak dihiraukan oleh partai-partai politik. Padahal ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Akan tetapi hal itu hanya tinggal janji saja tanpa bukti nyata. Maka tidak heran apabila rakyat kemudian pesimis dan kecewa terhadap partai-partai politik. Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka hanya selalu dijadikan “obyek” pengatasnamaan rakyat. Padahal semuanya “pepesan kosong”, yang ada adalah kepentingan golongan atau partai, dari kekuasaan, jabatan sampai pada uang.

            Kekecewaan rakyat bukan hanya itu saja, partai-partai politik yang seharusnya memberikan pelajaran bagaimana beretika yang baik dalam berpolitik dan berdemokrasi, tetapi yang dipertontonkan adalah sebuah moral politik yang rendah dan suasana  “democrazy”. Di antara elit politik partai terjadi “baku hantam” dan gontokan-gontokan memberebutkan posisi dan jabatan, baik ditingkat Pusat maupun Daerah. Selain itu, partai politik yang seharusnya dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, malah yang terjadi konflik di dalam tubuh partai politik itu sendiri.
            Berdasarkan hal tersebut, ternyata partai-partai politik yang tumbuh dalam era reformasi ini belum melaksanakan fungsinya dengan baik. Dari fungsi pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, komunikasi politik hingga penyelesai konflik belum ada yang dilaksanakan. Partai-partai politik asik dengan dirinya sendiri. Dengan demikian partai politik masih tetap “duduk dimenara gading”, lepas dari “denyut nadi” kepentingan rakyat.
Selain itu, perilaku elit yang tidak atau belum berubah, dimana mereka masih berorientasi pada kepentingan kelompok atau golongannya. Baik perilaku maupun mentalnya masih tetap sama seperti pada masa Orde Baru. Kalau pun ada  yang berubah, hal itu hanya orangnya atau yang berubah adalah kendaraan politiknya (partai). Politisi kita masih banyak didominasi pemain lama, baik dengan kendaraan lamanya maupun loncat dengan kendaraan (partai politik) baru.
            Dalam hal kinerja pemerintahan, belum ada tanda-tanda pencapaian yang signifikan, baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Padahal, dalam bidang ekonomi, kinerja pemerintah demokratis dituntut agar dapat menjamin berlangusngnya kompetisi ekonomi secara fair, menghindari perangkap krisis, menjaga tingkat pertumbuhan, mengendalikan inflasi, dan distribusi sumber-sumber secara adil. Dalam bidang politik, kinerja rejim demokratis tidak hanya dituntut untuk secara konsisten mendukung reformasi ekonomi, melainkan juga diharapkan dapat memberantas kejahatan ekonomi dan korupsi politik. 
Dalam hal penegakan hukum juga belum menunjukkan tanda-tanda yang berarti. Sebut saja misalnya dalam hal pemberantasan korupsi, ternyata belum ada agenda aksi pemeberantasan korupsi yang terarah, terfokus, dan terukur.  Memang sudah ada UU tentang Pemberatansan Korupsi, pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Timtas Tipikor (Tim Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi). Namun semua itu belum “memuaskan”  dan “mengobati” hati rakyat, karena mereka yang ditindak masuk dalam kategori “kelas teri” sementara mereka yang  “kelas kakap" masih bebas berkeliaran.
Reformasi birokrasi juga belum dilakukan secara sungguh-sungguh, padahal ini penting sekali bagi jalannya konsolidasi demokrasi. Birokrasi  belum sepenuhnya profesional, masih berlangsung tipe birokrasi patrimonialisme. Selain itu juga terjadi apa yang dinamakan politisasi birokrasi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Mental birokrasi juga belum berubah.
Di atas semua itu, saat ini telah terjadi apa yang dinamakan sebagai disorientasi makna demokrasi, dimana demokrasi dipahami bukan sebagai mekanisme-proses, tetapi sebagai tujuan (ultimate goal) itu sendiri. Terjadi distorsi semangat demokrasi, sehingga cenderung hanya pada ranah politik. Hal ini karena semangat berdemokrasi tidak ditunjang dengan infrastruktur yang memadai, baik secara politik, sumber daya manusia, mentalitas dan budaya masyarakat, komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat maupun watak kepemimpinan yang kredibel, dalam pengertian memiliki integritas moral dan intelektual serta komitmen untuk bekerja bagi rakyat. Akibatnya demokrasi rentan diperalat untuk menjadi justifikasi segala tindakan yang justru tidak demokratis, seperti kekerasan. Kecenderungan ini lebih tepat disebut sebagai democrazy, bukan demokrasi.


3.                  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan, maka rumusan masalah umum penelitian adalah : “ Bagaimanakah kontribusi dari partai politik dalam upaya pengkonsolidasian demokrasi pasca era reformasi untuk menciptakan suatu kehidupan kenegaraan yang demokratis?”.
4.                  Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan peran partai politik agar lebih maksimal dalam upaya konsolidasi demokrasi pasca  reformasi.
Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :
a.       Meningkatkan kualitas para kader-kader dari partai politik untuk lebih mengerti dan bisa mengaplikasikan makna demokrasi.
b.      Memberikan penekanan kepada setiap partai politik untuk lebih teliti dan cermat dalam penempatan setaip kader-kadernya di lembaga perwakilan rakyat.
c.       Menciptakan suatu persaingan politik yang bersih dan bertanggung jawab
5.                  Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian diuraikan sebagai berikut:
a.       Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menyadarkan pentingnya konsolidasi demokrasi melalui partisipasi dalam partai politik
b.      Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat agar terselenggaranya konsolidasi politik demokrasi yang bersih tanpa intervensi-intervensi pihak-pihak yang anti-demokrasi
c.       Bagi komponen terkait yaitu Partai politik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas kelembagaan partainya masing-masing.
6.                  Kerangka Berpikir / Landasan Teori
6.1.            Kerangka Berpikir
“Sejarah munculnya partai-partai politik di negara yang satu dengan negara yang lain memang tidak selalu sama. Tetapi, ada satu benang mereah yang mempertemukannya, yaitu bahwa kemunculan partai-partai itu berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisasi khususnya yang berkaitan dengan kesamaan hak antar warga negara” (Scarrow dalam Kacung, 2010 : 59).
Sebagaimana digarisbawahi oleh Evereth Call Ladd dalam Kacung (2010 : 60), partai politik merupakan ‘children egalitarianism’. Karena itu partai politik merupakan satu pilar dari demokrasi yang harus ada di dalam suatu negara modern.
Betapa pentingnya partai dalam negara demokratis tercermin dalam ungkapan “No America without democracy, no democracy without politics, and no politic without parties. Atau dikatakan juga ‘modern democracy is party democracy”  (Clinton dan Katz dalam Kacung, 2010 : 58).
Seperti halnya pada keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan para ahli yang tergabung dalam International Commission of Jurist pada konferensinya di Bangkok tahun 1965 merumuskan ciri-ciri pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law yang dinamis adalah sebagai berikut.
a.       Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas-hak yang dijamin.
b.      Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
c.       Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
d.      Pemilihan umum yang bebas.
e.       Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi.
f.       Pendidikan kewarganegaraan (civics education)(Winarno, 2010 : 120).

Jadi berdasarkan hasil konferensi oleh para ahli hukum tersebut tepatnya point yang keempat, dinyatakan bahwa salah satu ciri untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis adalah dengan adanya pemilihan umum yang bebas.
Pemilihan umum merupakan ajang bagi rakyat untuk memilih para wakil rakyatnya yang akan menempati kursi di lembaga perwakilan rakyat. Pemilihan umum tidak akan dapat terlaksana tanpa sentuhan dari partai politik. Melalui partai politik, setiap orang dapat menyampaikan aspirasinya guna melaksankan sistem pemerintahan yang berbau demokrasi. Dengan adanya sistem multi partai, maka diyakini setiap partai politik memiliki misi dan visi berbeda antar partai satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini akan menimbulkan adanya persaingan dari partai partai tersebut untuk meningkatkan kualitas dari setiap partainya guna mendapatkan sebuah kekuasaan.
Pentingnya isu persaingan atau kartelisasi partai sangat jelas. “Umum dikatakan bahwa sistem kepartaiaan yang kompetitif merupakan pilar demokrasi agar sistem ini berjalan secara bermakna-terutama untuk negara demokratis yang baruditegakkan” (Ambardi, 2009 : 4). Persaingan politik yang stabil dan sehat di negara-negara demokrasi baru hanya dapat dicapai melalui kehadira sistem kepartaian yang terstruktur dengan baik. Proses demokrasi yang berkualitas amat bergantung pada sistem kepartaian yang berfungsi dengan baik. Sementara itu separo stabilitas demokrasi ditentukan oleh jenis sistem kepartaian yang dimiliki oleh suatu tatanan pemerintahan yang demokratis. Pendeknya, watak persaingan dalam suatu sistem kepartaiaan akan menentukan kualitas dan prospek konsolidasi demokrasi.
6.2.            Landasan Toeri
6.2.1.      Partai Politik
Partai berasal dari kata Yunani yakni “Pars” yang artinya “bagian” atau “bagian dari keseluruhan”. Karena itu keberadaan partai tunggal atau membatasi partai lawan merupakan pelanggaran terhadap artian “pars” itu sendiri.
Carr dalam Cangara (2009 : 208) mengatakan bahwa” political party is an organization that attemps to acheiveand maintain control of government (partai politik adalah suatu organisasi yang berusaha untuk mencapai dan memelihara pengawasan terhadap pemerintahan)”.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Sigmund Neumann dalam Budiardjo (2010 : 404)mengatakan bahwa:
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organisation of society’s active politic agent’s ; those who are concerned with the control govermental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergens view)
            Sementara itu, Miriam Budiardjo (2010 : 403) sendiri mendefinisikan bahwa “ partai politik merupakan suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasnya dengan cara konstitusional) untuk melaksanakan programnya”.
            Sementara itu Undang-Undang Partai Politik No. 2 Tahun 2008 dinyatakan bahwa “ Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.
            Dari beberapa pengertian partai politik yang telah dikemukakan, ada tiga prinsip dasar dari partai poitik yakni : (1) partai sebagai organisasi; (2) partai sebagai sarana memperoleh kekuasaan; dan (3) partai sebagai penyumbang kebijakan.
            Jadi dengan demikian partai politik merupakan suatu kelompok yang terorganisasi sebagai sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
6.2.2.      Konsolidasi Demokrasi
Larry Diamond (2009 : 18) mengatakan bahwa :
esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elit maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, agar demokrasi terkonsolidasi, Dpara elit, organisasi dan massa, semuanya harus percaya, bahwa sistem politik (demokrasi) yang mereka miliki, layak dipatuhi dan dipertahankan, baik dalam tataran norma maupun dalam tataran perilaku” (Diamond, 2009 : 21).

Diamond (2009 : 21) juga mengatakan bahwa konsolidasi demokrasi mencakup tiga agenda besar, yaitu (1) kinerja politik dan ekonomi rejim pemerintah demokratis; (2) institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum); dan (3) restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di pihak lain.
6.2.3.      Reformasi
Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.
Reformasi administrasi menurut Lee dan Samonte dalam Nasucha (2004 : 6) “Merupakan perubahan atau inovasi secara sengaja dibuat dan diterapkan untuk menjadikan sistem administrasi tersebut sebagai suatu agen perubahan sosial yang lebih efektif dan sebagai suatu instrumen yang dapat lebih menjamin adanya persamaan politik, keadaan sosial dan pertumbuhan ekonomi”.
Sedangkan menurut Khan dalam Guzman et.al., (1992) “reformasi administrasi adalah usaha-usaha yang memacu atau membawa perubahan besar dalam sistem birokrasi negara yang dimaksudkan untuk mentransformasikan praktik, perilaku, dan struktur yang telah ada sebelumnya”.
Caiden (1969) menyatakan bahwa “reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of administrative transformation against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi administrasi merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar terjadi perubahan atau transformasi di bidang administrasi”.
Sedangkan Quah dalam Nasucha (2004 : 7) menyatakan bahwa reformasi administrasi publik merupakan suatu proses untuk mengubah struktur ataupun prosedur birokrasi publik yang terlibat dengan maksud untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan mencapai tujuan pembangunan nasional.
Mariani dalam Caiden (1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai :
La reforme administrative doit tendre a doter le Pays d’une administration qui, tout en garantissant a son personnel le benefice des lois sociales, agira avec le maximum d’efficacite et de celerite, aux moindres frais pour le contribuable, en imposant au public le minimum de gene et de formalites (Reformasi administrasi harus bertujuan untuk membawa administrasi dalam suatu negara selain memberikan jaminan hukum bagi para pegawai dalam pelaksanaan tugasnya, juga memberikan tingkat kepastian hukum dan kecepatan pelayanan yang maksimal, menimbulkan biaya yang minimal kepada para wajib pajak, dan pada saat yang bersamaan meminimalkan ketidaknyamanan dan formalitas terhadap publik).
Plowden dalam Guzman (1992) menyatakan bahwa “reformasi administrasi adalah meningkatkan dan membuat administrasi menjadi lebih profesional”.
Sedangkan UN DTCD dalam Guzman (1992) menyatakan bahwa “reformasi administrasi merupakan penggunaan kekuasaan dan pengaruh dalam menetapkan ukuran yang baru bagi sistem administrasi sehingga mereka akan merubah tujuan, struktur dan prosedur sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembangunan”.
Finan dalam Caiden (1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai segala macam bentuk pengembangan administrasi (all improvements in administrations).
Sedangkan Siegel dalam Caiden (1969) menyatakan reformasi administrasi sebagai perubahan atau perombakan secara besar-besaran terhadap administrasi dalam kondisi yang sulit.
Berdasarkan beberapa pengertian reformasi administrasi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa reformasi administrasi merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terencana dan terus-menerus di segala aspek administrasi yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja administrasi.
7.                  Batasan Masalah
Adapun batasan dalam penelitian adalah mencakup penelitian terhadap komponen-komponen berikut ini.
a.                   Keuangan Partai Politik
·         Keuangan Partai Politik
·         Rekomendasi “Keuangan Partai Politik”
·         Contoh Peraturan Partai “Keuangan dan Perbendaharaan Partai”
b.                  Pola Hubungan dengan Konstituen
·         Pola Hubungan Partai Politik dengan Konstituen
·         Rekomendasi “Pola pengelolaan Hubungan dengan Konstituen”
·         Contoh Peraturan Partai Politik “Tatacara Penyerapan Aspirasi dan Hubungan dengan
Konstituen”
c.                   Rekrutmen Anggota Partai Politik
·         Merekrut Anggota dan Menjaga Anggota agar Tetap Aktif dalam Partai
·         Rekomendasi “Rekrutmen Anggota”
·         Contoh Peraturan Partai “ Keanggotaan Partai”
d.                  Seleksi Kandidat
·         Seleksi Kandidat Legislatif dan Pemimpin Partai
·         Rekomendasi “Seleksi Kandidat Legislatif”
·         Contoh Peraturan Partai “Mekanisme Seleksi Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota”
e.                   Konflik Internal Partai
·         Konflik Internal Partai
·         Rekomendasi “Penanganan Konflik Internal Partai”
·         Contoh Peraturan Partai “Penyelesaian Konflik Internal Partai”
·         Struktur dan Mekanisme “Lembaga Penyelesaian Konflik Internal Partai”

8.                  Kerangka Konseptual dan Operasional
8.1.            Kerangka Konseptual
Penelitian kulitatif  ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas merupakan faktor-faktor yang akan diukur, dipilih dan dimanipulasi oleh pelaksana eksperimen untuk menentukan hubungannya dengan fenomena yang diobservasi. Sementara itu, varibel terikat merupakan faktor  yang diukur untuk menentukan pengaruh variabel bebas. Dengan kata lain, variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Sedangkan variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas.
Dalam penelitian ini yang tergolong ke dalam variabel bebas adalah peranan partai politik. Sedangkan yang tergolong ke dalam variabel terikat  adalah konsolidasi demokrasi pasca reformasi.
8.2.            Kerangka Operasional
8.2.1.      Partai Politik
a.                   Fungsi Partai Politik
Berikut ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi partai politik di negara-negara demokratis, (Miriam Budiardjo, 2010: 405-410)
v    Sebagai sarana Komunikasi Politik
Hubungannya dengan komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
v    Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnyaberlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia merupakan bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang.
Fungsi sosialisasi partai politik adalah upaya nenciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh keuangan seluas mungkin dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dalam kepartaian.
v    Sebagai Sarana Rekruitmen Politik
Fungsi ini erat kaitannya dengan masalah seleksi kepeminpinan, baik kepeminpinan internal maupun kepeminpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit untuk menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk bursa kepeminpinan nasional.
v    Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
Dalam negara yang heterogen baik dari segi etnis (suku bangsa), sosial-ekonomi, maupun agama, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik. Di sini peran partai politik diperlukan untuk mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatif dapat ditekan seminimal mungkin. Elit partai dapat menumbuhkan pengetian diantara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemmerintahnya. Selain itu, partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk menduduki posisi-posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi ini dapat dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik di negara demokrasi.
Selain empat fungsi di atas, menurut Yves Meny dan Andrew Knapp dalam Jimly Asshiddiqie (2006 : 160), fungsi partai politik itu mencakup: (i) mobilisasi dan integrasi; (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap prilaku pemilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Di Indonesia mengenai fungsi partai politik telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 pasal 11. Fungsi partai politik yakni menjadi sarana yang terinci sebagai berikut.
1)      Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2)      Penciptaan ilkim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat.
3)      Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
4)      Partisipasi politik warga negara Indonesia, dan
5)      Rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memerhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
b.                  Klasifikasi Sistem Kepartaian
Menurut Maurice Deverger dalam Miriam Budiardjo (2010 : 415), partai politik dapat dikatagorikan ke dalam tiga katagori yaitu sebagai berikut.
1)      Sistem Partai-Tunggal
Partai tunggal merupakan istilah yang menyangkal dirinya sendiri (contradictio in terminis) sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian (pars). Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi.
2)      Sistem Dwi-Partai
Sistem dwi-partai diartikan sebagai dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian memiliki kedudukan dominan. Sistem partai seperti ini adalah sistem kepartaian khas Anglo Saxon.
3)      Sistem Multi-Partai
Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama dan suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola muli-partai lebih sesuai dengan pluralitas dan budaya politik sistem dwi-partai.
Selain klasifikasi kepartaian di atas, ada empat macam bentuk partai, yaitu sebagai berikut.
         1)         Partai massa
partai masa mengandalkan jumlah anggota yang besar, dan biasanya tersiri dari banyak golongan yang bergabung di bawah payung partai, misalnya Golkar.
         2)         Partai Kader
Partai kader mengutamakan keketatan organisasi dan disiplin para anggotanya, untuk menjaga kemurnian perjuangan partai, bila perlu, orang yang tidak disiplin dipecat karena keluar dari garis perjuangan, misalnya PKS.
         3)         Partai Lindungan
Partai lingdungan memiliki organisasi nasional, disiplin lemah dan tidak mementingkan aturan. Tujuannya hanya untuk memenangkan pemilu. Oleh karena itu, aktifitasnya hanya kelihatan menjelang pemilu. Contoh partai Demokrat dan partai Republik di Amerika Serikat.
         4)         Partai Ideologi
Partai ideologi memiliki pandangan hidup yang digariskan melalui kongres atau musyawarah nasional. Penerimaan anggota paratai melalui saringan, sedangkan untuk menjadi pimpinan partai harus melalui proses pengkaderan dari bawah, misalnya Partai Komunis, Partai Sosialis, dan Partai Facisme. (Miriam Budiardjo dalam Hafied Cangara, 2009 : 219)
8.2.2.      Konsolidasi demokrasi
Ada beberapa hal pokok yang perlu diketengahkan agar konsolidasi demokrasi memiliki keterkaitan yang makin kokoh dengan peningkatan kemakmuran rakyat.
Pertama, perlunya upaya untuk memperkokoh sistem ekonomi nasional yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Sasaran utamanya adalah meningkatnya kemandirian ekonomi nasional. Ketergantungan ekonomi yang cukup besar selama beberapa dekade terhadap bantuan dana luar negeri untuk membiayai pembangunan harus dibenahi karena cenderung menjadi penghambat bagi upaya peningkatan demokrasi ekonomi. Pemerintah yang demokratis diharapkan mampu melakukan upaya-upaya inovatif yang sungguh sungguh dan berkelanjutan untuk meningkatkan mobilisasi dana dari dalam negeri sendiri.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia secara besar-besaran perlu pula dikonsentrasikan pada upaya peningkatan produktifitas dan efisiensi. Selain itu, peran APBN yang selama ini cenderung masih menjadi andalan dalam membiayai pembangunan nasional harus lebih diimbangi oleh sumber-sumber swasta dan masyarakat luas.
Perekonomian dan pelaku-pelaku ekonomi dalam sebuah demokrasi yang terkonsolidasi tidak dapat dikelola berdasarkan ekonomi komando, namun sebaliknya tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar yang murni. Ekonomi komando seringkali mengakibatkan timbulnya rasa ketidakadilan dan ketidak-efisienan dalam perekonomian. Sebaliknya pada perekonomian yang sepenuhnya mengacu pada mekanisme pasar yang murni dapat terjadi kegagalan pasar. Oleh karena itu, untuk mendukung terciptanya rasa keadilan dan efisiensi, serta menjamin berjalannya perekonomian seperti yang diharapkan, diperlukan demokrasi yang terkonsolidasi. Dengan demikian, perlu dilakukan pemberdayaan kekuatan-kekuatan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan dengan dukungan kuat dari parlemen dan pemerintah, dengan menerapkan strategi bersama yang pro-kemandirian ekonomi.
Kedua, adanya rekonsiliasi nasional secara serius dan terlembaga. Dewasa ini, sejak berakhirnya Orde Baru pada 1998, polarisasi kekuatan politik sipil masih cenderung ke arah menguatnya ikatan politik tradisional yang bersifat sempit, seperti aliran-aliran sempit agama dan simbol-simbol kedaerahan. Kecenderung ini tidak mendukung kehidupan demokrasi politik secara modern. Hal ini masih terus terlihat dalam orientasi kehidupan partai-partai politik dan gerakan-gerakan kemasyarakatan pada umumnya.
ICMI sebagai gerakan intelektual keagamaan diharapkan mampu memberikan pencerahan ke arah rasionalisasi ajaran-ajaran penting keagamaan yang menyangkut kehidupan kemasyarakatan untuk kemaslahatan semua orang, terutama dalam upaya mencari alternatif-alternatif pemikiran-pemikiran ekonomi yang berorientasi kerakyatan. Bukankah Islam merupakan rahmat bagi semesta alam.
Destabilitas politik dapat mudah sekali dipicu oleh pertentangan dari kelompok-kelompok tradisional yang seringkali kurang rasional secara politik. Pertentangan ataupun konflik antara parpol dan organisasi masyarakat yang berorientasi pada ikatan tradisional seringkali bertentangan dengan kepentingan nasional yang memerlukan stabilitas politik dan ekonomi. Padahal stabilitas politik merupakan salah satu kunci dari pemulihan perekonomian dan selanjutnya pengembangan sistem perekonomian yang pro-masyarakat banyak.
Ketiga, penegakan supremasi hukum, yang pada satu sisi berarti memperkuat independensi lembaga peradilan dan membersihkan lembagalembaga penegakan hukum dari KKN. Pada sisi lain, penegakan supremasi hukum bermakna melakukan reformasi sistem hukum dan perundang-undangan nasional serta memperkuat kepastian hukum bagi semua pihak yang memerlukannya.
Konstitusi dan perundang-undangan sudah harus mampu merumuskan perimbangan antara penguasaan negara atas perekonomian dan swasta, terutama dalam hal industri-industri vital dan strategis, atau kalau tidak dikuasai namun diregulasi secara memadai untuk mengoptimalkan fungsi sosial. Sedangkan untuk swasta nasional dan asing, kepastian hukum dan aturan main mesti dijalankan secara konsisten dan berkeadilan.
Konsolidasi demokrasi tanpa adanya dukungan supremasi hukum merupakan sesuatu yang hampir mustahil dilakukan. Salah satu sasaran dari konsolidasi demokrasi dalam jangka panjang adalah terwujudnya negara hukum (rechtsstaat). Kegagalan menarik investasi asing serta tingginya biaya ekonomi karena korupsi, produktivitas dan efisiensi yang rendah, berawal dari tidak adanya kepastian hukum, diperparah oleh sistem hukum dan perundangundangan yang seringkali bertentangan satu sama lainnya. Tidak adanya kepastian hukum juga mengakibatkan terjadinya tindakan-tindakan diskriminasi dan manipulasi hukum dalam menangani kasus-kasus sengketa ekonomi dan niaga serta kasus-kasus korupsi berskala besar maupun kecil.
Keempat, yang tidak kurang penting adalah diwujudkannya penyelenggaraan negara secara transparan dan akuntabel, serta partisipasi politik secara nyata dari masyarakat terhadap perumusan-perumusan kebijakan publik. Aparatur negara diharapkan memiliki standar kemampuan minimal yang dibutuhkan untuk melaksanakan program-program pemerintah terpilih, bersih dari korupsi, dan efektif dalam melaksanakan tugas profesinya, berdasarkan asas the right man on the right place. Baik aparatur birokrasi sipil maupun militer harus dapat mempertanggung jawabkan pekerjaannya berdasarkan prinsipprinsip good governance dan ketentuan perundang-undangan serta hukum positif.
Konsekuensi sebagai pelayan masyarakat (public servant) adalah perlunya netralitas dalam politik. Hal ini tentu bukan berarti para pejabat publik dan birokrasi kehilangan hak politik sebagai warganegara. Aparatur birokrasi diharapkan memiliki dan dapat menggunakan hak suaranya secara penuh dalam memilih wakil-wakilnya di parlemen dan memilih kepala negara/pemerintahan. Aparatur penyelenggaraan negara diharapkan tidak merangkap pekerjaan profesi politik dalam sistem kepartaian pada saat sedang menduduki jabatan di birokrasi.
Kelima, yang seringkali agak diremehkan, padahal sangat menentukan eksistensi demokrasi yang mandiri adalah perlunya politik luar negeri dan kerjasama internasional yang lebih terfokus pada upaya mendukung pemulihan dan pengembangan sistem perekonomian nasional yang lebih mandiri, dengan ujung tombak diplomasi internasional yang pro-aktif. Kelemahan diplomasi Indonesia selama ini sudah banyak menyebabkan kerugian dan kekalahan dalam memperjuangkan kepentingan nasional serta banyak menyebabkan kesengsaraan yang tidak perlu bagi warganegara Indonesia di luar negeri. Sebagai contoh, masalah sengketa pulau di daerah perbatasan yang gagal dimenangkan serta tragedi terusirnya ratusan ribu TKI serta perlindungan hukum yang lemah atas pekerja Indonesia di luar negeri adalah karena lemahnya diplomasi.
8.2.3.      Reformasi
Proses reformasi di Indonesia telah berlangsung selama sepuluh tahun terhitung sejak mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu.  Butir-butir tuntutan reformasi yang dikumandangkan mahasiswa sepuluh tahun yang lalu adalah: 1). pencabutan mandat Soeharto sebagai presiden; 2). adili Soeharto dan kroni-kroninya; 3). penghapusan dwifungsi  TNI/ABRI; 4). Pemilu ulang yang luber, jurdil, dan demokratis; 5). TAP pemberantasan KKN; 6). TAP pengusutan pelanggaran HAM; 7). Amendemen konstitusi; 8). Cabut asas tunggal; 9). otonomi seluas-luasnya; 10). penurunan 4 harga kebutuhan pokok; 11). jaminan ketersediaan lapangan kerja yang layak.  Beberapa tuntutan tersebut telah terlaksana antara lain adanya amendemen konstutusi, pelaksanaan pemilu atau pun adanya otonomi.
Butir-butir tuntutan tersebut nampaknya merupakan upaya untuk menegakkan kembali cita-cita kenegaraan berdirinya negara Indonesia.  Cita-cita kenegaraan itu  dapat dilacak pada Pembukaan UUD 1945 yang dapat mencerminkan pokok-pokok cita-cita kenegaraan yang melandasi berdirinya Indonesia.
9.                  Pendekatan dan Jenis Penelitian
9.1.            Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu: (1) Jenis Pendekatan menurut Teknik Samplingnya; (2) Jenis Pendekatan menurut Timbulnya Variabel; (3) Jenis Pendekatan menurut Pola-pola atau Sifat-sifat Non-Eksperimen; (4) Jenis Pendekatan menurut Model Pengembangan atau Model Pertumbuhan.
Berdasarkan teknik samplingnya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan Pendekatan Sampel. Seringkali terjadi bahwa peneliti tidak dapat melakukan studi terhadap semua anggota yang menjadi objek penelitian, sehingga mereka hanya mampu mengambil sebagian dari populasi (sampel), dalam penelitian ini biasanya digunakan pendekatan sampel. Pendekatan ini biasanya diterappkan terhadap penelitian yang populasinya cukup besar sehingga untuk mengumpulkan datanya membutuhkan tenaga, pemikiran, dan/atau dana yang besar sehingga menyulitkan peneliti dalam mengumpulkan datanya.
Berdasarkan timbulnya variabel, penelitian ini menggunakan pendekatan dengan tipe Pendekatan Eksperimen. Pendekatan Eksperimen adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel-variabel yang akan datang. Pendekatan Eksperimen/eksplanatori adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan apa-apa yang akan terjadi bila variabel-variabel tertentu dikontrol atau dimanipulasi secara tertentu. Jadi pendekatan ekperimen adalah penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian eksperimen.
9.2.            Jenis Penelitian
Penelitian  ini  menggunakan  pendekatan  kualitatif  yaitu  berawal  pada  data  dan bermuara  pada  kesimpulan (Bungin, 2001 : 18).  Sasaran  atau  obyek  penelitian  dibatasi agar  data  yang  diambil  dapat  digali  sebanyak  mungkin  serta  agar  penelitian  ini  tidak dimungkinkan  adanya  pelebaran  obyek  penelitian,  oleh  karena  itu,  maka  kredibilitas dari  peneliti  sendiri  menentukan  kualitas  dari  penelitian  ini (Bungin, 2001:26)
Penelitian  ini  juga  menginterpretasikan  atau  menterjemahkan  dengan  bahasa peneliti  tentang  hasil  penelitian  yang  diperoleh  dari  informan  dilapangan  sebagai wacana  untuk  mendapat  penjelasan  tentang  kondisi  yang  ada .
Dalam  penelitian  ini  juga  menggunakan  jenis  penelitian  diskriptif,  yaitu  jenis penelitian  yang  hanya  menggambarkan,  meringkas  berbagai  kondisi  dan  situasi  yang ada,  Penulis  mencoba  menjabarkan  kondisi  konkrit  dari  obyek  penelitian  dan selanjutnya  akan  dihasilkan  diskripsi  tentang  obyek  penelitian.



10.              Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di:
Kantor DPD Partai Golkar Bali
Alamat:
Jl.Suropati No.9 Denpasar 80232
Telp: 0361-228028,229988
Fax: 0361-232920
Email:
pengurus@bali.golkar.or.id
11.              Sumber Data
Penulisan Proposal penelitian ini menggunakan beberapa literatur baik melalui buku-buku serta artikel-artikel yang diperoleh dari postingan-postingan pada website maupun blogspot yang dapat dibuktikan dan dijamin kebenaran dan keasliannya.
12.              Prosedur Pengumpulan Data
Adapun prosedur pengimpilan data dalam Penelitian Kualitatif ini adalah sebagai berikut.
12.1.        Observasi
Observasi merupakan teknik mengumpulkan data dengan cara mengamati setiap kejadian yang sedang berlangsung dan mencatatnya dengan alat observasi tentang hal-hal yang akan diamati atau diteliti (Wina Sanjaya, 2010 ; 86). Dalam penilitian yang akan dilangsungkan peneliti mengutamakan observasi yang ditujukan terhadap aktivitas yang dilaksanakan oleh para pengurus parpol dalam mengkristalisaikan nilai-nilai demokratis. Observasi yang akan dilaksanakan bersifat sistematis, artinya sebelum pelaksanaanya dipersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan baik mengenai aspek-aspek yang diamati , waktu observasi, maupun alat yang digunakan.
12.2.        Wawancara
Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan bahasa lisan baik secara tatap muka ataupun melalui saluran media tertentu ( Wina Sanjaya, 2010 ; 96). Teknik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan informasi  dari para pengurus partai politik untuk mendapatkan data yang akan dianalisis lebih lanjut. Adapun jenis-jenis wawancara yang akan digunakan adalah  bentuk wawancara insidental dan wawancara terencana. Mengenai bentuk pertanyaan-pertanyaan  yang akan digunakan sebagai instrumen wawancara ini adalah pertanyaan yang bersifat  terbuka dan tertutup (close question).
13.              Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengolah dan menginterpretasi data dengan tujuan untuk mendudukkan berbagai informasi sesuai dengan fungsinya hingga memiliki makna dan arti yang jelas sesuai dengan tujuan penelitian (Wina Sanjaya, 2010 ; 106). Analisis data dilakukan melalui tiga tahap yaitu: (1) reduksi data, yakni kegiatan menyeleksi masalah sesuai dengan fokus kegiatan; (2) mendeskripsikan data, yakni proses organisir data agar menjadi bermakna; dan (3) membuat kesimpulan berdasarkan deskripsi data.














                                                                                                   





DAFTAR PUSTAKA

Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Assiddiqie, Jimly.2006. Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Cangara, Hafied.2009. Komunikasi Politik. Jakarta: Rajawali Pers
Diamond, Larry. 2009.Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Rajawali Pers
Nasucha, Chaizi. 2004. Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktik. Jakarta : Grasindo

Sanjaya, Wina. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media
Winarno. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Utama
http://juwonosudarsono.com/wordpress/?p=39 diakses tgl 30 juli pukul 14.00
http://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi diakses tgl 30 juli pukul 14.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar