Konsep
mengenai kekuasaan merupakan hal yang penting dalam bahasan ini, sebab bahasan
ini pada dasarnya berbicara mengenai lembaga-lembaga yang menjalankan kekuasaan
berdasarkan suatu pola tertentu dan legitimasi dari warganya untuk menyelenggarakan
negara. Berbagai persoalan yang muncul selanjutnya akan berkisar pada konsep
kekusaan yang sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya dan dalam ilmu
politik khususnya, bahkan dalam suatu ketika politik dianggap tidak lain dari
masalah kekuasaan. Tanpa adanya konsep yang jelas mengenai kekuasaan, akan
timbul kerancuan sehingga dapat timbul pengertian yang rancu pula mengenai
bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan.
Telah
muncul begitu banyak definisi lain tentang kekuasaan dari para ahli. Adapun
para sarjana yang memberikan pengertian seperti seorang sosiolog Max Weber. Menurut Weber, “Kekuasan adalah
kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan pengertian sendiri,
sekalipun melakukan perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini” (Max Weber
dalam Miriam Budiardjo, 60: 2010).
Sarjana
yang kira-kira sama dengan pengertian ini adalah Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang
definisinya sudah menjadi rumusan klasik. Menurut Laswell, “kekuasaan adalah
suatu hubungan dimana seorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan
seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama” ( Laswell dalam Miriam
Budiardjo, 60: 2008).
Definisi
serupa juga dirumuskan oleh seorang ahli kontemporer Barbara Goodwin. Akan cara
yang oleh bersangkutan tidak akan dipilih seandainya ia tidak dilibatkan.
Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kehendaknya.
Kekuasaan
sering kali dipandang sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih kesatuan,
sehingga kekuasaan dianggap mempunyai sifat yang relational. Karenanya perlu dibedakan antara scope of power dan domain of
power. Scope of power atau ruang lingkup kekuasaan menunjuk pada kegiatan,
tingkah laku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari
kekuasaan. Sementara itu istilah domain
of power, jangkauan kekuasaan menunjuk pada pelaku, kelompok atau
kolektivitas yang terkena kekuasaan.
Jika
kekuasaan dikaitkan dengan hukum, maka van Apeldoorn mengungkapkan “kekuasaan
yang identik dengan hukum. Menurutnya, Hukum Objektif adalah kekuasaan yang
bersifat mengatur, hukum subjektif adalah kekuasaan yang diatur oleh hukum
objektif” (van Apeldoorn, 2011: 56). Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa hukum
tidak lain daripada kekuasaan belaka, tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan
adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. Hukum adalah kekuasaan, akan
tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum (Might
is not right). Dengan demikian muncul Slogan bahwa “hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” (Blaise Pascal
dalam Mochtar Kusumaatmadja, 1999:35)
Sementara
itu, Mochtar Kusumaatmadja (1999:37), mengungkapkan bahwa:
Hakikat
kekuasaan dalam pelbagai bentuk itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang atau
suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Kekuasaan mempunyai
suatu sifat khas, yakni ia cenderung untuk merangsang yang memilikinya untuk
lebih berkuasa lagi. Kekuasaaan haus akan lebih banyak lagi kekuasaan. Dengan
demikian mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak
setiap orang dengan begitu saja dapat diserahi kekuasaan. Ia harus dipersiapkan
untuk itu. Seorang pemegang kekuasaan, harus memiliki semangat mengabdi
kepentingan umum (sense of public service).
Pengertian
lain yang berkaitan erat dengan istilah kekuasaan adalah wewenang atau authority. Sebagaimana halnya dengan
rumusan mengenai kekuasaan , istilah wewenangpun dirumuskan dalam berbagai versi. Namun rumusan yang dianggap
paling mengenai sasaran adalah definisi yang dikemukakan oleh Robert Bierstedt
yaitu bahwa “wewenang (authority)
adalah institutionalized power
(kekuasaan yang dilembagakan)” (Bierstedt dalam Budiardjo, 2010 : 64).
Istilah
kekuasaan dapat diartikan daya atau kemampuan untu melakukan pengaruh terhadap
orang lain. Jika kekuasaan itu dialami atau diterima oleh masyarakat, maka
kekuasaan itu berubah menjadi kewibawaaan. Jadi kewibawaan adalah kekuasaan
yang diakui. Iatilah kekuasaan sering pula digunakan dalam konteks teori
politik, yang mengatakan bahwa di setiap negara ada kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Dalam kaitan dengan tulisan ini
penulis menggunakan istilah kekuasaan yang disamakan dengan fungsi.
Sedangkan
istilah “fungsi” menurut etimologi berasal dari Eropa. Dalam bahasa Inggris
disebut “function” mempunyai tiga arti:
1.
Special
activity or purpose;
2.
Public
ceremony or event; sosial gathering of an important and formal kind; dan
3.
Variable
quantity, dependent in value or another.
Dalam
konteks fungsi negara kiranya pengertian pertama yang relevan, sebagaimana
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah “jabatan atau pekerjaan
yang dilakukan”.
Istilah
fungsi dalam buku-buku literatur digunakan dalam banyak arti. “Ada yang
mengatakan fungsi sama dengan tugas, pendapat ini mengacu kepada istilah
“composition, functions and powers” yang digunakan dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Dalam bahasa Indonesia istilah ini diterjemahkan dengan
“susunan, tugas dan wewenang”(Widarsono, 2002: 12).
Purnadi
Purbacaraka dalam Widarsono (2002: 13) menyatakan bahwa:
Fungsi sama dengan
peranan (role). Peranan berupa tugas
dan wewenang, artinya aktualisasi dari peranan. Terkadang dalam bentuk tugas,
terkadang dalam bentuk wewenang. Selanjutnya istilah tugas (dalam konteks hukum
kenegaraan) sama dengan istilah kewajiban (dalam konteks hukum perdata), yaitu
peranan yang bersifat imperatif. Sebaliknya istilah wewenang (dalam konteks
hukum kenegaraan) sama dengan istilah hak (dalam konteks hukum perdata), yaitu
peranan yang bersifat fakultatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar