Senin, 10 September 2012

Hakikat Kekuasaan


Konsep mengenai kekuasaan merupakan hal yang penting dalam bahasan ini, sebab bahasan ini pada dasarnya berbicara mengenai lembaga-lembaga yang menjalankan kekuasaan berdasarkan suatu pola tertentu dan legitimasi dari warganya untuk menyelenggarakan negara. Berbagai persoalan yang muncul selanjutnya akan berkisar pada konsep kekusaan yang sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya dan dalam ilmu politik khususnya, bahkan dalam suatu ketika politik dianggap tidak lain dari masalah kekuasaan. Tanpa adanya konsep yang jelas mengenai kekuasaan, akan timbul kerancuan sehingga dapat timbul pengertian yang rancu pula mengenai bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan.
Telah muncul begitu banyak definisi lain tentang kekuasaan dari para ahli. Adapun para sarjana yang memberikan pengertian seperti seorang sosiolog Max Weber. Menurut Weber, “Kekuasan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan pengertian sendiri, sekalipun melakukan perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini” (Max Weber dalam Miriam Budiardjo, 60: 2010).

Sarjana yang kira-kira sama dengan pengertian ini adalah  Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang definisinya sudah menjadi rumusan klasik. Menurut Laswell, “kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama” ( Laswell dalam Miriam Budiardjo, 60: 2008).
Definisi serupa juga dirumuskan oleh seorang ahli kontemporer Barbara Goodwin. Akan cara yang oleh bersangkutan tidak akan dipilih seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
Kekuasaan sering kali dipandang sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih kesatuan, sehingga kekuasaan dianggap mempunyai sifat yang relational. Karenanya perlu dibedakan antara scope of power dan domain of power. Scope of power atau ruang lingkup kekuasaan menunjuk pada kegiatan, tingkah laku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan. Sementara itu istilah domain of power, jangkauan kekuasaan menunjuk pada pelaku, kelompok atau kolektivitas yang terkena kekuasaan.
Jika kekuasaan dikaitkan dengan hukum, maka van Apeldoorn mengungkapkan “kekuasaan yang identik dengan hukum. Menurutnya, Hukum Objektif adalah kekuasaan yang bersifat mengatur, hukum subjektif adalah kekuasaan yang diatur oleh hukum objektif” (van Apeldoorn, 2011: 56). Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka, tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum (Might is not right). Dengan demikian muncul Slogan bahwa “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” (Blaise Pascal dalam Mochtar Kusumaatmadja, 1999:35)
Sementara itu, Mochtar Kusumaatmadja (1999:37), mengungkapkan bahwa:
Hakikat kekuasaan dalam pelbagai bentuk itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Kekuasaan mempunyai suatu sifat khas, yakni ia cenderung untuk merangsang yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi. Kekuasaaan haus akan lebih banyak lagi kekuasaan. Dengan demikian mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan begitu saja dapat diserahi kekuasaan. Ia harus dipersiapkan untuk itu. Seorang pemegang kekuasaan, harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service).
Pengertian lain yang berkaitan erat dengan istilah kekuasaan adalah wewenang atau authority. Sebagaimana halnya dengan rumusan mengenai kekuasaan , istilah wewenangpun dirumuskan dalam  berbagai versi. Namun rumusan yang dianggap paling mengenai sasaran adalah definisi yang dikemukakan oleh Robert Bierstedt yaitu bahwa “wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan)” (Bierstedt dalam Budiardjo, 2010 : 64).
Istilah kekuasaan dapat diartikan daya atau kemampuan untu melakukan pengaruh terhadap orang lain. Jika kekuasaan itu dialami atau diterima oleh masyarakat, maka kekuasaan itu berubah menjadi kewibawaaan. Jadi kewibawaan adalah kekuasaan yang diakui. Iatilah kekuasaan sering pula digunakan dalam konteks teori politik, yang mengatakan bahwa di setiap negara ada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Dalam kaitan dengan tulisan ini penulis menggunakan istilah kekuasaan yang disamakan dengan fungsi.
Sedangkan istilah “fungsi” menurut etimologi berasal dari Eropa. Dalam bahasa Inggris disebut “function” mempunyai tiga arti:
1.      Special activity or purpose;
2.      Public ceremony or event; sosial gathering of an important and formal kind; dan
3.      Variable quantity, dependent in value or another.
Dalam konteks fungsi negara kiranya pengertian pertama yang relevan, sebagaimana diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah “jabatan atau pekerjaan yang dilakukan”.
Istilah fungsi dalam buku-buku literatur digunakan dalam banyak arti. “Ada yang mengatakan fungsi sama dengan tugas, pendapat ini mengacu kepada istilah “composition, functions and powers” yang digunakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam bahasa Indonesia istilah ini diterjemahkan dengan “susunan, tugas dan wewenang”(Widarsono, 2002: 12).
Purnadi Purbacaraka dalam Widarsono (2002: 13) menyatakan bahwa:
Fungsi sama dengan peranan (role). Peranan berupa tugas dan wewenang, artinya aktualisasi dari peranan. Terkadang dalam bentuk tugas, terkadang dalam bentuk wewenang. Selanjutnya istilah tugas (dalam konteks hukum kenegaraan) sama dengan istilah kewajiban (dalam konteks hukum perdata), yaitu peranan yang bersifat imperatif. Sebaliknya istilah wewenang (dalam konteks hukum kenegaraan) sama dengan istilah hak (dalam konteks hukum perdata), yaitu peranan yang bersifat fakultatif. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar