Diantara
konsep politik yang banyak dibahas adalah kekuasaan. Hal ini tidak mengherankan
sebab konsep ini sangat krusial dalam ilmu sosial pada umumnya, dan dalam lmu
politik khususnya. Telah muncul begitu banyak definisi lain tentang kekuasaan
dari para ahli. Adapun para sarjana yang memberikan pengertian seperti seorang
sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirtshaft
und Gessllshapt. Kekuasan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial,
melaksanakan pengertian sendiri, sekalipun melakukan perlawanan, dan apapun
dasar kemampuan ini. ( Miriam Budiardjo, 60: 2008)
Sarjana
yang kira-kira sama dengan pengertian ini adalah Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang
definisinya sudah menjadi rumusan klasik. Menurut Laswell, kekuasaan adalah
suatu hubungan dimana seorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan
seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama. ( Miriam
Budiardjo, 60: 2008)
Definisi
serupa juga dirumuskan oleh seorang ahli kontemporer Barbara Goodwin. Menurut
Goodwin, kekuasaan ialah kemampuan untuk mengakibatkan seorang bertindak dengan
cara yang oleh bersangkutan tidak akan dipilih seandainya ia tidak dilibatkan.
Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kehendaknya.
Berdasarkan
pendapat yang diberikan oleh para ahli diatas maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seorang pelaku untuk mempengaruhi
prilaku seorang pelaku lain, sehingga prilakunya menjadi sesuai dengan
keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Robbins membagi sumber kekuasaan menjadi 2
pengelompokkan umum, yaitu:
1.
Kekuasaan formal
Kekuasaan formal merupakan kekuasaan yang didasarkan
pada posisi individu dalam organisasi. Adapun yang termasuk dalam kekuasaan
formal adalah:
a.
Kekuasaan paksaan : merupakan kekuasaan yang didasarkan pada rasa takut
b.
Kekuasaan imbalan : merupakan kepatuhan tercapai berdasarkan kemampuan membagi
imbalan yang berguna bagi orang lain
c.
Kekuasaan Hukum : merupakan kekuasaan yg diterima seseorang sebagai hasil dari
posisinya dalam hirarki formal organisasi
d.
Kekuasaan Informasi : Kekuasaan yang berasal dari akses ke dan
kendali atas Informasi
2.Kekuasaan
personal
Kekuasaan personal merupakan kekuasaan yang berasal
dari karakteristik unik individu – individu. Adapun yang termasuk dalam
kekuasaaan personal adalah:
- Kekuasaan Pakar : merupakan kekuasaan yang dipengaruhi berdasarkan keterampilan atau keahlian khusus.
- Kekuasaan Rujukan : medapatkan pengaruh berdasarkan kepemilikan atas sumber daya atau ciri pribadi seseorang.
a.
Kekuasaan Kharismatik : Perluasan
kekuasaan rujukan yg muncul dari kepribadian dan gaya interpersonal seseorang.
Adapun
kekuasaan memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya dengan wewenang (authority) dalam arti kekuasaan yang
dilembagakan atau kekuasaan formal (formal
power). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, konsep yang selalu dibahas
bersama dengan kekuasaan adalah lembaga. Kepentingan kekuasaan Negara biasanya
diwakili oleh pemerintah, sedangkan kepentingan rakyat di institusionalkan atau
dilembagakan melalui parlemen.
Konsepsi
tentang lembaga dalam bahasa belanda biasa disebut dengan Staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga
Negara, badan Negara, atau disebut juga dengan organ Negara. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia(1997), kata “lembaga” diartikan sebagai:
I.
Asal mula atau bakal (yang menjadi sesuatu);
II.
Bentuk asli (rupa, wujud);
III.
Acuan atau ikatan;
IV.
Badan atau organisasi yang bertujuan
melakuakan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha;
V.
Pola prilaku yang mapan yang terdir atas
interaksi sosial yang berstruktur;
Dalam
kamus Hukum Belanda-Indonesia, kata Staatsorgaan
itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapn Negara. Dalam kamus Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh
Saleh Adi Winata dan kawan-kawan, kata organ juga diartikan sebagai
perlengkapan. Karena itu istilah lembaga Negara, organ Negara, badan Negara,
dan alat perlengkapan Negara sering kali dipertukarkan satu sama lain.
Menurut
Natabaya penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan
istilah badan Negara, bukan lembaga Negara atau
organ Negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja
yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga
Negara. Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif,
yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Akan tetapi, seperti diuraikan
diatas, baik pada tingkat nasional atau pusat maupun daerah, bentuk-bentuk
organisasi Negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini berkembang
sangat pesat. Karena itu, doktrin trias politica yang biasa dinisbatkan dengan
tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu
harus tercermin didalam tiga jenis organ Negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan.
Namun,
karena pengaruh gagasan Montesquieu sangat mendalam dalam cara berpikir, banyak sarjana sering kali sangat sulit
melepaskan diri dari pengertian bahwa lembaga Negara itu selalu terkait dengan tiga cabang alat-alat
perlengkapan Negara, yaitu legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.
Yang
di idealkan oleh Montesquieu (1689-1755) adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan Negara
itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya
boleh menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan
masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan
terancam (Jimly Asshiddiqie,31-35:2006).
Dari
apa yang telah diuraikan diatas bahwa apa yang diharapkan oleh Montesquieu sangat sukar sekali diselenggarakan dalam praktik
sekarng. Mungkin dapat dilaksanakan dalam Negara Hukum Klasik abad ke 19
seperti pernah digambarkan oleh Immanuel Kant dan Fichte. Adapun ciri-ciri Negara
Hukum Klasik yang digambarkan pada abad ke 19 oleh Friedrich Julius Stahl dari
kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut:
a. Hak
asasi manusia.
b. Pemisahan
atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal
sebagai Trias Politika.
c. Pemerintahan
berdasarkan peraturan-peraturan.
d. Peradilan
administrasi dalam perseleisihan.
Adapun
AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberi ciri-ciri Rule of Law
sebagai berikut:
a. Supremasi
hukum, dalam arti tidak boleh ada keseweng-wenangan, sehingga seseorang hanya
boleh dihukum jika melanggar hukum.
b. Kedudukan
yang sama didepan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
c. Terjaminnya
hak-hak manusia dalam undang-undang keputusan pengadilan. (Miriam
Budiadjo,285:2008)
Ciri-ciri
Rechtsstaat atau Rule of Law diatas masih dipengaruhi oleh konsep Negara hukum
formil atau Negara Hukum dalam arti sempit. Adapun tugasnya tidak lain dari
mempertahankan dan melinydungi ketertiban sosial dan ekonomi berdasarkan laissez faire, laissed aller. (Winarno,120:2009)
Oleh
Kant dan fichte tiap campur tangan Negara dalam perekonomian dan segi-segi lain
kehidupan sosial tidak dibenarkan (staatsonthouding),
oleh karena itu pemerintah hanya dianggap sebagai “penjaga malam”
semata-mata.(Miriam Budiardjo,285-286:2008).
Dengan
demikian kalau tiap-tiap individu sudah mengurus kepentingannya dengan cara
yang paling baik maka msyarakat pun menjadi baik.
Adam Smith Bapak Ilmu Ekonomi menjelaskan
bahwa dalam mengejar apa yang paling baik bagi tiap orang dan sekaligus
mencapai yang terbaik bagi semuanya, tiap individu dipimpin oleh tangan gaib
yang berbentuk kekuatan pasar bebas, sehingga campur tangan pemerintah terhadap
persaingan bebas niscaya berakibat buruk. Biarlah kebaikan timbul sebagai hasil
sampingan dari usaha mengurus kepentingan diri sendiri dengan sebaik mungkin.
Inilah yang merupakan kekuatan positif dari tangan gaib (the invisible hand).
Hanya
saja kelemahan asumsi ini adalah mengabaikan kemampuan dari tiap-tiap orang
yang tidak sama, baik dari segi mutu sumber daya manusia yang dimilikinya
maupun sumber daya lainnya. Oleh karena itu individu yang kemampuan dan sumber dayanya
kurang akan selalu kalah dalam persaingan. Hal ini tidak bias diatasi oleh
mekanisme pasar, sehingga memerlukan intervensi
pemerintah (the visible hand).
(Ketut Rindjin,238-239:2009)
Dalam
abad ke- 20, terutama sesudah perang dunia II telah terjadi perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap akses-akses dalam industrialisasi
dan system kapitalis, tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian
kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa partai sosialis di Eropa,
seperti di Swedia dan Norwegia, dan pengaruh aliran ekonomi yang dipelopori
ahli ekonomi Inggris John Maynard Keynes (1883-1946).
Gagasan
bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik dibidang
sosial maupun dibidang ekonomi (staatsonthouding)
dan laissez faire, lambat laun
berubah menjadi gagasan bahwa
pemerintah bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial
(Miriam Budiardjo,114-115:2008).
Sesuai
dengan perubahan dalam jalan pikiran ini, perumusan yuridis mengenai negara hukum
klasik seperti yang diajukan oleh A.V.D icey dan Immanuel Kant pada abad
ke-19 juga ditinjau kembali dan
dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad ke-20, terutama sesudah perang
dunia II. International Commission of
Jurists yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konfrensinya
di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep mengenai Rule of Law. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law ialah:
a. Perlindungan
konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain manjamin hak-hak individu ,
harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
b. Badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent
and impartial tribunals).
c. Pemilihan
umum yang bebas.
d. Kebebasan
untuk menyatakan pendapat.
e. Kebebasan
utuk berserikat, berorganisasi, dan beroposisi.
f. Pendidikan
kewarganegaraan (civic education).
Jelaslah
bahwa konsep dinamis mengenai Rule of Law
dibandingkan dengan perumusan abad ke -19 sudah jauh berbeda.Kecendrungan dari
pihak eksekutif untuk menyelenggarakan tugas yang jauh lebih banyak dan intensif
daripada dulu dalam masa Nachtwachterstaat
telah diakui keperluannya.
Berdasarkan
ciri-ciri negara hukum diatas tersebut yang menyatakan adanya pembagian atau
pemisahan kekuasaan yang biasanya disebut dengan konsep trias politika yang
terdiri dari lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam hal ini, kami
akan membahas tentang pergeseran kekuasaan antara dua lemabaga negara tersebut
yaitu lembaga legislatif dan yudikatif. Sebelumnya kami akan memaparkan
terlebih dahulu pemahaman mengenai kedua lembaga negara itu sebagai berikut:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar