Selasa, 24 Januari 2012

Kekuasaan dalam Negara Hukum


Diantara konsep politik yang banyak dibahas adalah kekuasaan. Hal ini tidak mengherankan sebab konsep ini sangat krusial dalam ilmu sosial pada umumnya, dan dalam lmu politik khususnya. Telah muncul begitu banyak definisi lain tentang kekuasaan dari para ahli. Adapun para sarjana yang memberikan pengertian seperti seorang sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirtshaft und Gessllshapt. Kekuasan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan pengertian sendiri, sekalipun melakukan perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini. ( Miriam Budiardjo, 60: 2008)
Sarjana yang kira-kira sama dengan pengertian ini adalah  Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang definisinya sudah menjadi rumusan klasik. Menurut Laswell, kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama. ( Miriam Budiardjo, 60: 2008)

Definisi serupa juga dirumuskan oleh seorang ahli kontemporer Barbara Goodwin. Menurut Goodwin, kekuasaan ialah kemampuan untuk mengakibatkan seorang bertindak dengan cara yang oleh bersangkutan tidak akan dipilih seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
Berdasarkan pendapat yang diberikan oleh para ahli diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seorang pelaku untuk mempengaruhi prilaku seorang pelaku lain, sehingga prilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Robbins membagi sumber kekuasaan menjadi 2 pengelompokkan umum, yaitu:
1. Kekuasaan formal
Kekuasaan formal merupakan kekuasaan yang didasarkan pada posisi individu dalam organisasi. Adapun yang termasuk dalam kekuasaan formal adalah:
a.       Kekuasaan paksaan     : merupakan kekuasaan yang didasarkan pada rasa takut
b.      Kekuasaan imbalan     : merupakan kepatuhan tercapai berdasarkan kemampuan membagi imbalan yang berguna bagi orang lain
c.       Kekuasaan Hukum      : merupakan kekuasaan yg diterima seseorang sebagai hasil dari posisinya dalam hirarki formal organisasi
d.      Kekuasaan Informasi  : Kekuasaan yang berasal dari akses ke dan kendali atas Informasi
2.Kekuasaan personal
Kekuasaan personal merupakan kekuasaan yang berasal dari karakteristik unik individu – individu. Adapun yang termasuk dalam kekuasaaan personal adalah:
  1. Kekuasaan Pakar         : merupakan kekuasaan yang dipengaruhi berdasarkan keterampilan atau keahlian khusus.
  2. Kekuasaan Rujukan    :  medapatkan pengaruh berdasarkan kepemilikan atas sumber daya atau ciri pribadi seseorang.
a.       Kekuasaan Kharismatik : Perluasan kekuasaan rujukan yg muncul dari kepribadian dan gaya interpersonal seseorang.
Adapun kekuasaan memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya dengan wewenang (authority) dalam arti kekuasaan yang dilembagakan atau kekuasaan formal (formal power). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, konsep yang selalu dibahas bersama dengan kekuasaan adalah lembaga. Kepentingan kekuasaan Negara biasanya diwakili oleh pemerintah, sedangkan kepentingan rakyat di institusionalkan atau dilembagakan melalui parlemen.
Konsepsi tentang lembaga dalam bahasa belanda biasa disebut dengan Staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga Negara, badan Negara, atau disebut juga dengan organ Negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1997), kata “lembaga” diartikan sebagai:
       I.            Asal mula atau bakal (yang menjadi sesuatu);
    II.            Bentuk asli (rupa, wujud);
 III.            Acuan atau ikatan;
 IV.            Badan atau organisasi yang bertujuan melakuakan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha;
    V.            Pola prilaku yang mapan yang terdir atas interaksi sosial yang berstruktur;
Dalam kamus Hukum Belanda-Indonesia, kata Staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapn Negara. Dalam kamus Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adi Winata dan kawan-kawan, kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Karena itu istilah lembaga Negara, organ Negara, badan Negara, dan alat perlengkapan Negara sering kali dipertukarkan satu sama lain.
Menurut Natabaya penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan Negara, bukan lembaga Negara atau  organ Negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga Negara. Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Akan tetapi, seperti diuraikan diatas, baik pada tingkat nasional atau pusat maupun daerah, bentuk-bentuk organisasi Negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat. Karena itu, doktrin trias politica yang biasa dinisbatkan dengan tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin didalam tiga jenis organ Negara, sering  terlihat tidak relevan  lagi untuk dijadikan rujukan.
Namun, karena pengaruh gagasan Montesquieu sangat mendalam dalam cara berpikir,  banyak sarjana sering kali sangat sulit melepaskan diri dari pengertian bahwa lembaga Negara itu  selalu terkait dengan tiga cabang alat-alat perlengkapan Negara,  yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Yang di idealkan oleh Montesquieu (1689-1755) adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan Negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam (Jimly Asshiddiqie,31-35:2006).
Dari apa yang telah diuraikan diatas bahwa apa yang diharapkan oleh  Montesquieu sangat  sukar sekali diselenggarakan dalam praktik sekarng. Mungkin dapat dilaksanakan dalam Negara Hukum Klasik abad ke 19 seperti pernah digambarkan oleh Immanuel Kant dan Fichte. Adapun ciri-ciri Negara Hukum Klasik yang digambarkan pada abad ke 19 oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut:
a.       Hak asasi manusia.
b.      Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika.
c.       Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
d.      Peradilan administrasi dalam perseleisihan.
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberi ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut:
a.       Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada keseweng-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
b.      Kedudukan yang sama didepan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
c.       Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang keputusan pengadilan. (Miriam Budiadjo,285:2008)
Ciri-ciri Rechtsstaat atau Rule of Law diatas masih dipengaruhi oleh konsep Negara hukum formil atau Negara Hukum dalam arti sempit. Adapun tugasnya tidak lain dari mempertahankan dan melinydungi ketertiban sosial dan ekonomi berdasarkan laissez faire, laissed aller. (Winarno,120:2009)
Oleh Kant dan fichte tiap campur tangan Negara dalam perekonomian dan segi-segi lain kehidupan sosial tidak dibenarkan (staatsonthouding), oleh karena itu pemerintah hanya dianggap sebagai “penjaga malam” semata-mata.(Miriam Budiardjo,285-286:2008).
Dengan demikian kalau tiap-tiap individu sudah mengurus kepentingannya dengan cara yang paling baik maka msyarakat pun menjadi baik.
 Adam Smith Bapak Ilmu Ekonomi menjelaskan bahwa dalam mengejar apa yang paling baik bagi tiap orang dan sekaligus mencapai yang terbaik bagi semuanya, tiap individu dipimpin oleh tangan gaib yang berbentuk kekuatan pasar bebas, sehingga campur tangan pemerintah terhadap persaingan bebas niscaya berakibat buruk. Biarlah kebaikan timbul sebagai hasil sampingan dari usaha mengurus kepentingan diri sendiri dengan sebaik mungkin. Inilah yang merupakan kekuatan positif dari tangan gaib (the invisible hand).
Hanya saja kelemahan asumsi ini adalah mengabaikan kemampuan dari tiap-tiap orang yang tidak sama, baik dari segi mutu sumber daya manusia yang dimilikinya maupun sumber daya lainnya. Oleh karena itu individu yang kemampuan dan sumber dayanya kurang akan selalu kalah dalam persaingan. Hal ini tidak bias diatasi oleh mekanisme pasar, sehingga memerlukan intervensi  pemerintah (the visible hand). (Ketut Rindjin,238-239:2009)
Dalam abad ke- 20, terutama sesudah perang dunia II telah terjadi perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap akses-akses dalam industrialisasi dan system kapitalis, tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa partai sosialis di Eropa, seperti di Swedia dan Norwegia, dan pengaruh aliran ekonomi yang dipelopori ahli ekonomi Inggris John Maynard Keynes (1883-1946).
Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik dibidang sosial maupun dibidang ekonomi (staatsonthouding) dan laissez faire, lambat laun berubah  menjadi gagasan bahwa pemerintah  bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial (Miriam Budiardjo,114-115:2008).
Sesuai dengan perubahan dalam jalan pikiran ini, perumusan yuridis mengenai negara hukum klasik seperti yang diajukan oleh A.V.D icey dan Immanuel Kant pada abad ke-19  juga ditinjau kembali dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad ke-20, terutama sesudah perang dunia II. International Commission of Jurists yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konfrensinya di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep mengenai Rule of Law. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law ialah:
a.       Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain manjamin hak-hak individu , harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas  hak-hak yang dijamin.
b.      Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
c.       Pemilihan umum yang bebas.
d.      Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
e.       Kebebasan utuk berserikat, berorganisasi, dan beroposisi.
f.       Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Jelaslah bahwa konsep dinamis mengenai Rule of Law dibandingkan dengan perumusan abad ke -19 sudah jauh berbeda.Kecendrungan dari pihak eksekutif untuk menyelenggarakan tugas yang jauh lebih banyak dan intensif daripada dulu dalam masa Nachtwachterstaat telah diakui keperluannya.
Berdasarkan ciri-ciri negara hukum diatas tersebut yang menyatakan adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan yang biasanya disebut dengan konsep trias politika yang terdiri dari lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam hal ini, kami akan membahas tentang pergeseran kekuasaan antara dua lemabaga negara tersebut yaitu lembaga legislatif dan yudikatif. Sebelumnya kami akan memaparkan terlebih dahulu pemahaman mengenai kedua lembaga negara itu sebagai berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar