BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Baron De Montesquieu (1689-1785) mengidealkan ketiga fungsi kekuasaaan Negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian maka kebebasan akan terancam.
Pada umumnya, pengertian pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan oleh Montesquieu itu, dianggap oleh para ahli sebagai pandangan yang tidak realistis dan jauh dari kenyataan. Pandangannya itu dianggap oleh para ahli sebagai kekeliruan Montesquieu dalam memahami system ketatanegaraan Inggris yang dijadikannya objek telaah untuk mencapai kesimpulan mengenai trias politikanya itu dalam bukunya” L’Esprit des Lois (1748)”. Tidak ada suatu Negara pun di dunia yang sungguh-sungguh mencerminkan gambaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan (Separation of power) demikian itu. Bahkan, struktur dan system ketatanegaraan Inggris yang ia jadikan objek penelitian dalam menyelesaikan bukunya itu juga tidak menganut system pemisahan kekuasaan seperti yang ia bayangkan.
Konsepsi yang kemudian disebut dengan “trias politika” tersebut tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan fungsi check and balances.
Mengingat konsepsi trias politika yang dikemukakan Montesquieu yang menjadi salah satu pokok dalam menjadi pusat perhatian yang akan kami bahas disepanjang sejarah adalah mekanisme hubungan antara Negara dan rakyat dalam suatu Negara. Kepentingan Negara biasanya diwakili oleh pemerintah, sedangkan kepentingan rakyat diinstitusionalisasikan atau terlembagakan melalui parlemen. Ada parlemen yang bersifat unicameral (monokameral), ada yang bersifat bicameral, dan bahkan ad pula contoh parlemen yang bersifat trikameral seperti yang pernah dipraktekkan di Cina.
Pentingnya hubungan diantara institusi pemerintah dan parlemen tersebut berkaitan dengan penilaian mengenai derajat ketelibatan rakyat dalam kekuasaan Negara sebagai ukuran utama dalam pemahaman mngenai demokrasi. Salah satu fungsi penting dan bahkan dianggap utama dari lembaga parlemen adalah fungsi legislatif, yaitu fungsinya sebagai lembaga pembuat undang-undang ataupun lembaga yang menentukan pembuatan hukum. Di dalamnya terkait hak dan kewajiban inisiatif merancang dan merumuskan undang-undang, serta membahas dan mengadakan amandemen dan modifikasi terhadap rancangan undang-undang, serta mengawasi pelaksanaan undan-undang itu kelak setelah diberlakukan.
Dalam mengamati berbagai masalah ketatanegaraan seperti tersebut diatas, sering kali orang mengabaikan pertimbangan-pertimbangan historis yang berkaitan erat dengan dinamika perubahan yang seharusnya diperhatikan. Sikap seperti ini sering menghinggapi para pengamat ketatanegaraan dan para ahli hukum, dan apa lagi para pemerhati awam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan khususnya dalam memberikan penilaian mengenai peran parlemen dan pemerintah di Indonesia. Lalu bagaimanakah hubungan parlemen dan pemerintah yang terjadi di Indonesia?
Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia sendiri sudah sesudah terjadinya reformasi nasional sejak tahun 1998 yang kemudian diikuti oleh terjadinya perubahan UUD 1945 secara sangat mendasar sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah mengubah secara mendasar pula cetak biru(blue print) ketatanegaraan Indonesia dimasa yang akan datang.
Sampai sekarang setelah amandemen UUD 1945 yang sesuai dengan tuntutan reformasi maka terjadilah suatu pergesaran kekuasaan diantara lembaga-lembaga Negara yaitu antara perlemen dan pemerintah. Dalam hal ini parlemen diwakili oleh DPR dan pemerintah diwakili oleh presiden. Dimana dulu sebelum adanya amandemen UUD 1945 bobot kekuasaan eksekutif lebih mendominasi dalam jalannya pemerintahan(eksekutif heavy). Dalam hal ini kami akan membahas perubahan pergeseran kekuasaan lembaga-lembaga Negara yang berakar dari sejarah perkembangan ketatanegaraan Negara-negara mulai dari abad ke-18 sampai mengkhusus pada pergeseran kekuasaan lembaga-lembaga Negara di Indonesia pada jaman reformasi
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang kami paparkan, adapun rumusan masalah yang kami muat dalam makalah yang berjudul “Pergeseran kekuasaan Lembaga negara eksekutif dan legislatif “ adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah perkembangan pergeseran kekuasaan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang terjadi dalam perkembangan kelembagaan negara di dunia?
b. Apakah yang melatarbelakangi pergeseran kekuasaan lembaga negara antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
Semua kegiatan penelitian yang kami lakukan pada dasarnya mempunyai tujuan tertentu yang akan mengarahkan apa yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penulisan laporan mengenai kegiatan PKL ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses perkembangan kelembagaan negara-negara di dunia secara umum serta perkembangan kelembagaan lembaga eksekutif dan legislatif di Indonesia
2. Untuk mengetahui pergeseran kekuasaan lembaga eksekutif dan legislatif yang dimulai dengan adanya pergerakan sosial di Eropa Barat yang kemudian berefek di Indonesia pada masa reformasi
3. Dapat membandingkan proses pergeseran kekuasaan lembaga eksekutif dan legislatif yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke-18 dan 19 dengan pergeseran kekuasaan legilatif dan eksekutif yang terjadi di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan sampai masa reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsepsi Teori
Diantara konsep politik yang banyak dibahas adalah kekuasaan. Hal ini tidak mengherankan sebab konsep ini sangat krusial dalam ilmu sosial pada umumnya, dan dalam lmu politik khususnya. Telah muncul begitu banyak definisi lain tentang kekuasaan dari para ahli. Adapun para sarjana yang memberikan pengertian seperti seorang sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirtshaft und Gessllshapt. Kekuasan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan pengertian sendiri, sekalipun melakukan perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini. ( Miriam Budiardjo, 60: 2008)
Sarjana yang kira-kira sama dengan pengertian ini adalah Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang definisinya sudah menjadi rumusan klasik. Menurut Laswell, kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama. ( Miriam Budiardjo, 60: 2008)
Definisi serupa juga dirumuskan oleh seorang ahli kontemporer Barbara Goodwin. Menurut Goodwin, kekuasaan ialah kemampuan untuk mengakibatkan seorang bertindak dengan cara yang oleh bersangkutan tidak akan dipilih seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
Berdasarkan pendapat yang diberikan oleh para ahli diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seorang pelaku untuk mempengaruhi prilaku seorang pelaku lain, sehingga prilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Robbins membagi sumber kekuasaan menjadi 2 pengelompokkan umum, yaitu:
1. Kekuasaan formal
Kekuasaan formal merupakan kekuasaan yang didasarkan pada posisi individu dalam organisasi. Adapun yang termasuk dalam kekuasaan formal adalah:
a. Kekuasaan paksaan : merupakan kekuasaan yang didasarkan pada rasa takut
b. Kekuasaan imbalan : merupakan kepatuhan tercapai berdasarkan kemampuan membagi imbalan yang berguna bagi orang lain
c. Kekuasaan Hukum : merupakan kekuasaan yg diterima seseorang sebagai hasil dari posisinya dalam hirarki formal organisasi
d. Kekuasaan Informasi : Kekuasaan yang berasal dari akses ke dan kendali atas Informasi
2.Kekuasaan personal
Kekuasaan personal merupakan kekuasaan yang berasal dari karakteristik unik individu – individu. Adapun yang termasuk dalam kekuasaaan personal adalah:
- Kekuasaan Pakar : merupakan kekuasaan yang dipengaruhi berdasarkan keterampilan atau keahlian khusus.
- Kekuasaan Rujukan : medapatkan pengaruh berdasarkan kepemilikan atas sumber daya atau ciri pribadi seseorang.
c. Kekuasaan Kharismatik : Perluasan kekuasaan rujukan yg muncul dari kepribadian dan gaya interpersonal seseorang.
Adapun kekuasaan memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya dengan wewenang (authority) dalam arti kekuasaan yang dilembagakan atau kekuasaan formal (formal power). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, konsep yang selalu dibahas bersama dengan kekuasaan adalah lembaga. Kepentingan kekuasaan Negara biasanya diwakili oleh pemerintah, sedangkan kepentingan rakyat di institusionalkan atau dilembagakan melalui parlemen.
Konsepsi tentang lembaga dalam bahasa belanda biasa disebut dengan Staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga Negara, badan Negara, atau disebut juga dengan organ Negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1997), kata “lembaga” diartikan sebagai:
I. Asal mula atau bakal (yang menjadi sesuatu);
II. Bentuk asli (rupa, wujud);
III. Acuan atau ikatan;
IV. Badan atau organisasi yang bertujuan melakuakan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha;
V. Pola prilaku yang mapan yang terdir atas interaksi sosial yang berstruktur;
Dalam kamus Hukum Belanda-Indonesia, kata Staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapn Negara. Dalam kamus Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adi Winata dan kawan-kawan, kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Karena itu istilah lembaga Negara, organ Negara, badan Negara, dan alat perlengkapan Negara sering kali dipertukarkan satu sama lain.
Menurut Natabaya penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan Negara, bukan lembaga Negara atau organ Negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga Negara. Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Akan tetapi, seperti diuraikan diatas, baik pada tingkat nasional atau pusat maupun daerah, bentuk-bentuk organisasi Negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat. Karena itu, doktrin trias politica yang biasa dinisbatkan dengan tokoh Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin didalam tiga jenis organ Negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan.
Namun, karena pengaruh gagasan Montesquieu sangat mendalam dalam cara berpikir, banyak sarjana sering kali sangat sulit melepaskan diri dari pengertian bahwa lembaga Negara itu selalu terkait dengan tiga cabang alat-alat perlengkapan Negara, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Yang di idealkan oleh Montesquieu (1689-1755) adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan Negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam (Jimly Asshiddiqie,31-35:2006).
Dari apa yang telah diuraikan diatas bahwa apa yang diharapkan oleh Montesquieu sangat sukar sekali diselenggarakan dalam praktik sekarng. Mungkin dapat dilaksanakan dalam Negara Hukum Klasik abad ke 19 seperti pernah digambarkan oleh Immanuel Kant dan Fichte. Adapun ciri-ciri Negara Hukum Klasik yang digambarkan pada abad ke 19 oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut:
a. Hak asasi manusia.
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika.
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
d. Peradilan administrasi dalam perseleisihan.
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberi ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut:
a. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada keseweng-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama didepan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang keputusan pengadilan. (Miriam Budiadjo,285:2008)
Ciri-ciri Rechtsstaat atau Rule of Law diatas masih dipengaruhi oleh konsep Negara hukum formil atau Negara Hukum dalam arti sempit. Adapun tugasnya tidak lain dari mempertahankan dan melinydungi ketertiban sosial dan ekonomi berdasarkan laissez faire, laissed aller. (Winarno,120:2009)
Oleh Kant dan fichte tiap campur tangan Negara dalam perekonomian dan segi-segi lain kehidupan sosial tidak dibenarkan (staatsonthouding), oleh karena itu pemerintah hanya dianggap sebagai “penjaga malam” semata-mata.(Miriam Budiardjo,285-286:2008).
Dengan demikian kalau tiap-tiap individu sudah mengurus kepentingannya dengan cara yang paling baik maka msyarakat pun menjadi baik.
Adam Smith Bapak Ilmu Ekonomi menjelaskan bahwa dalam mengejar apa yang paling baik bagi tiap orang dan sekaligus mencapai yang terbaik bagi semuanya, tiap individu dipimpin oleh tangan gaib yang berbentuk kekuatan pasar bebas, sehingga campur tangan pemerintah terhadap persaingan bebas niscaya berakibat buruk. Biarlah kebaikan timbul sebagai hasil sampingan dari usaha mengurus kepentingan diri sendiri dengan sebaik mungkin. Inilah yang merupakan kekuatan positif dari tangan gaib (the invisible hand).
Hanya saja kelemahan asumsi ini adalah mengabaikan kemampuan dari tiap-tiap orang yang tidak sama, baik dari segi mutu sumber daya manusia yang dimilikinya maupun sumber daya lainnya. Oleh karena itu individu yang kemampuan dan sumber dayanya kurang akan selalu kalah dalam persaingan. Hal ini tidak bias diatasi oleh mekanisme pasar, sehingga memerlukan intervensi pemerintah (the visible hand). (Ketut Rindjin,238-239:2009)
Dalam abad ke- 20, terutama sesudah perang dunia II telah terjadi perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman terhadap akses-akses dalam industrialisasi dan system kapitalis, tersebarnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa partai sosialis di Eropa, seperti di Swedia dan Norwegia, dan pengaruh aliran ekonomi yang dipelopori ahli ekonomi Inggris John Maynard Keynes (1883-1946).
Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik dibidang sosial maupun dibidang ekonomi (staatsonthouding) dan laissez faire, lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial (Miriam Budiardjo,114-115:2008).
Sesuai dengan perubahan dalam jalan pikiran ini, perumusan yuridis mengenai negara hukum klasik seperti yang diajukan oleh A.V.D icey dan Immanuel Kant pada abad ke-19 juga ditinjau kembali dan dirumuskan kembali sesuai dengan tuntutan abad ke-20, terutama sesudah perang dunia II. International Commission of Jurists yang merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konfrensinya di Bangkok tahun 1965 memperluas konsep mengenai Rule of Law. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law ialah:
a. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain manjamin hak-hak individu , harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
c. Pemilihan umum yang bebas.
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
e. Kebebasan utuk berserikat, berorganisasi, dan beroposisi.
f. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Jelaslah bahwa konsep dinamis mengenai Rule of Law dibandingkan dengan perumusan abad ke -19 sudah jauh berbeda.Kecendrungan dari pihak eksekutif untuk menyelenggarakan tugas yang jauh lebih banyak dan intensif daripada dulu dalam masa Nachtwachterstaat telah diakui keperluannya.
Berdasarkan ciri-ciri negara hukum diatas tersebut yang menyatakan adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan yang biasanya disebut dengan konsep trias politika yang terdiri dari lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam hal ini, kami akan membahas tentang pergeseran kekuasaan antara dua lemabaga negara tersebut yaitu lembaga legislatif dan yudikatif. Sebelumnya kami akan memaparkan terlebih dahulu pemahaman mengenai kedua lembaga negara itu sebagai berikut:
1) Lembaga Legislatif
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, petama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat melalui parlemen yaitu,:
a. Pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara.
b. Pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara.
c. Pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. (Jimly Asshiddiqie,32:2006)
Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dilakukan atas persetujuan dari warga negara itu sendiri, yaitu melalui perantaraan wakil-wakil mereka diparlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Badan legislatif sendiri mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah “Assembly yang mengutamakan unsur berkumpul (untuk membicarakan masalah-masalah public). Nama lain lagi adalah Parliament, suatu istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan (Miriam Budiardjo,315:2008).
Tidak dari semula badan legislatif mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan umum dan membuat undang-undang. Parlemen Inggris yang merupakan bada legislatif yang tertua di dunia, mula-mula hanya bertugas mengumpulkan dana untuk memungkinkan raja membiayai kegiatan pemerintahan serta peperangannya. Akan tetapi lambat laun setiap penyerahan dana (semacam pajak) oleh golongan elite disertai tuntutan agar pihak raja menyerahkan pula berbagai hak dan privilege sebagai imbalan. Dengan demikian secara berangsur –angsur parlemen berhasil bertindak sebagai badan yang membatasi kekuasaan raja yang tadinya berkekuasaan absolut (absolutism). Puncak kemenangan parlemen adalah peristiwa The Glorious Revolution of 1688.
Dengan berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menetukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang. Dalam pada itu badan itu eksekutif hanya merupakan penyelenggara dari kebijakan umum itu.
Berikut ini merupakan fungsi dari lembaga legislatif yaitu:
a. Menentukan kebijakan (policy) dan membuat undang-undang. Untuk itu badan legislatif diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan terutama dibidang budget atau anggaran.
b. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan bada eksekutif sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan (security oversight). Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak control khusus.
Disamping itu terdapat banyak badan legislatif yang menyelenggarakan fungsi lain seperti mengesahkan (ratify) perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif. Perlu dicatat bahwa beberapa badan legislatif (antara lain Senat Amerika Serikat) mempunyai wewenang untuk menuntut (meng-impech) dan mengadili pejabat tinggi, termasuk presiden. Diperancis badan legislatif berwenang menuntut pejabat tinggi termasuk presiden dan menteri-menteri, akan tetapi pengadilan tinggi lah yang mengadili.
Badan Legislatif di Indonesia
Kita telah mengenal tujuh belas badan legislatif di Indonesia, yaitu:
1. Volksraad : 1918-1942
2. Komite Nasional Indonesia : 1945-1949
3. DPR dan Senat Repulik Indonesia Serikat : 1949-1950
4. DPRS : 1950-1956
5. DPR (hasil pemilihan umum 1955) : 1956-1959
6. DPR Peralihan : 1959-1960
7. DPR-Gotong- Royong-Demokrasi Terpimpin : 1960-1966
8. DPR-Gotong-Royong –Demokrasi Pancasila :1966-1971
9. DPR hasil pemilihan umum 1971
10. DPR hasil pemilihan umum 1977
11. DPR hasil pemilihan umum 1982
12. DPR hasil pemilihan umum 1987
13. DPR hasil pemilihan umum 1992
14. DPR hasil pemilihan umum 1997
15. DPR hasil pemilihan umum 1999
16. DPR hasil pemilihan umum 2004
17. DPR hasil pemilihan umum 2009
Berdasarkan sejarah perkembangan badan legislatif di Indonesia, adapun fungsi,tugas,dan wewenangnya sebagai berikut.:
v Fungsi legislasi
Yang biasa disebut sebagai fungsi utama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Sehingga, kewenangan ini hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum dimaksud. Sebab, cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat maka peraturan yang paling tinggi dibawah Undang-Undang Dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif.
Selain itu, fungsi legislasi juga menyangkut empat kegiatan sebagai berikut:
1. Prakarsa pembuatan undang-undang (Legislatif initation);
2. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
3. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
4. Pemberian persetuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lain (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).
v Fungsi Kontrol
Seperti dikemukakan diatas, pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, dan pengaturan-pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara, perlu dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh rakyat sendiri. Jika pengaturan mengenai ketiga hal itu tidak di control sendiri oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen, maka kekuasaan ditangan pemerintah dapat terjerumus ke dalam kecendrungan alamiahnya sendiri untuk menjadi sewenang-wenang. Oleh karena itu, lembaga perwakilan rakyat diberikan kewenangan untuk melakukan control dalam tiga hal itu,yaitu (i) kontrol terhadap pemerintahan (control of excutive), (ii) kontrol atas pengeluaran (Control of expenditure), dan (iii) control atas pemungutan pajak (control of taxation)
Bahkan secara teoritis jika dirinci fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat pula dibedakan sebagai berikut:
1. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan;
2. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan;
3. Pengawasan terhadap pengganggaran dan belanja negara;
4. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara;
5. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan ;
6. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik dalam bentuk persetujuan atau penolakan,ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.
v Fungsi Lainnya
Disamping fungsi legislasi dan control, badan legislatif mempunyai beberapa fungsi lainnya. Dengan meningkatnya peranan badan eksekutif dan berkurangnya peranan badan legislatif dibidang perundang-undangan, dewasa ini lebih ditonjolkan peranan edukatifnya. Badan legislatif dianggap sebagai forum kerja sama antara berbagai golongan serta partai dan pemerintah, dimana beranekaragam pendapat dibicarakan dimuka umum.
Bagi anggota badan legislatif terbuka kesempatan untuk bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan beranekaragam pandangan yang berkembang secara dinamis dalam masyarakat. Dengan demikian jarak (gap) antara yang memerintah dan yang diperintah dapat diperkecil. Dipihak lain, pembahasan kebijaksanaan pemerintah dimuka umum merupakan kesempatan bagi pemerintah untuk menjelaskan tindakan-tindakan serta rencananya.
Suatu fungsi yang tidak kalah pentingnya ilah sebagai sarana rekruitmen politik. Iya merupakan training graund bagi generasi muda untuk mendapat pengalaman dibidang politik sampai ditingkat nasional.
2) Lembaga Eksekutif
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Di negara negara demokratis badan eksekutif biasnya terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden, beserta menteri-menterinya. Badan eksekutif dalam arti yang luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer. Dalam naskah ini istilah badan eksekutif dipakai dalam arti sempitnya.
Tugas badan eksekutif menurut tafsiran tradisional trias politika, hanya melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dietapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif.
Fungsi Badan Eksekutif
Kekuasaan badan eksekutif mencakup beberapa bidang:
1) Administratif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan peraturan perundangan lainnya dan meyelenggarakan administrasi negara;
2) Membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai mejadi undang-undang;
3) Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata,menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan dalam negari;
4) Memberi grasi, amnesti, abolisi dan sebagainya;
5) Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggraakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.
Badan eksekutif di Indonesia
Dalam masa pra demokrasi terpimpin, yaitu November 1945 sampai Juni 1959, kita kenal badan eksekutif yang terdiri atas presiden dan wakil presiden, sebagai dari bagian badan eksekutif yang tidak dapat diganggu gugat, dan menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan yang bekerja atas dasar asas tanggung jawab menteri .Kabinet merupakan kabinet yang dipimpin oleh wakil pressden Moh.Hatta, yang karena itu dinamakan kabinet presidensial.
Setelah dekrit presiden berlaku, maka sistem eksekutif menganut system presidensial dimana presiden memegang kekuasaan pemerintah selam lima tahun yang hanya dapat dibatasi oleh peraturan-peraturan dalam Undang-Undang Dasar.
2.2. Pergeseran kekuasaan Parlemen dan Pemerintah
1. Pergeseran dari Pemerintah ke Parlemen
Dalam berbagai literatur hukum dan politik lazim dipahami oleh berbagai sarjana, bahwa tugas pokok lembaga parlemen itu dimana-mana adalah :
a. Mengambil inisiatif atas upaya pembuatan undang-undang.
b. Mengubah atau amandemen terhadap berbagai peraturan perundangan.
c. Mengadakan perdebatan mengenai kebijaksanaan umum.
d. Mengawasi pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembelian negara.
Di antara keempat tugas pokok itu, biasanya yang paling menarik perhatian para politisi untuk diperbincangkan adalah tugas pertama yaitu sebagai pemrakarsa pembuatan undang-undang. Namun, jika ditelaah secara kritis, maka tugas pokok yang pertama yaitu sebagai pengambil inisiatif pembuatan undang-undang, dapat dikatakan telah mengalami kemunduran serius dalam perkembangan akhir-akhir ini. Biasanya, dalam berbagai konstitusi negara-negara berdaulat dimana-mana,memang diadakan perumusan mengenai tugas-tugas pembuatan undang-undang (legislatif) dan tugas-tugas pelaksanaan undang-undang itu (eksekutif) ke dalam dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang berbeda. Kekuasaan legislatif dan eksekutif itu dirumuskan dalam bab-bab yang terpisah, dan keduanya selalu diuraikan secara lebih rinci daripada ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal lain. Karena itu, dalam merumuskan undang-undang dasar biasanya para penyusunannya mendasarkan diri pada doktrin “separation of power” atau “division of power” sebagia doktrin dalam merumuskan hubungan di antara kedua cabang kekuasaan itu.
Biasanya, perumusan mengenai doktrin pembagian ataupun mengenai peimisahan kekuasaan itu dalam konstitusi dianggap penting karena tiga pertimbangan pokok. Pertama, pembuatan undang-undang beserta pelaksanaannya dianggap sebagai dua pekerjaan yang memerlukan tipe organisasi, personil dan keahlian yang berbeda satu sama lain. Karena itu, untuk kepentingan efisiensi, kedua pekerjaan itu dibagi dalam dua institusi yang berbeda.. Kedua, pembedaan kedua cabang kekuasaan itu juga dianggap penting untuk menjamin taraf kebebasan dan pembatasan kekuasaan yang dimiliki, sehingga dianggap perlu diadakan pemisahan kelembagaan. Doktrin peinisahan kekuasaan ini dapat dikaitkan pula dengan konsep Baron de Montesquieu (1689-1755) yang berpendapat bahwa peimisahan fungsi-fungsi legislatif, esekutif dan judikatif dalam struktur kekuasaan negara diperlukan sebagai langkah untuk menjamin kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan itu. Ketiga, pemisahan ketiga cabang kekuasaan itu seringkali dikaitkan dengan corak penulisan yang mengikuti tradisi yang sudah berlangsung sejak lama, di mana ketiga cabang kekuasaan itu dirumuskan dalam tiga bagian terpisah satu sama lain.
Meskipun demikian apabila ditelaah secara mendala, sesungguhnya tidak satupun teks konstitusi maupun dalam praktek dimanapun yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu secara kaku. Baik dalam rumusan formal apalagi dalam kenyataan praktek, fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif selalu bersifat tumpang tindih. Parlemen Inggris , misalnya yang biasa dianggap sebagai induk dari semua konsep parlemen di dunia yang kemudian dijadikan model parlemen yang ideal oleh Montesquiseu dalam berbagai tulisan-tulisannya, bermula dari adanya hasrat kaum aristokrat dan kemudian dari rakyat jelata untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan, agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh Raja. Perjuangan kaum aristokrat dan rakyat banyak itu menunjukkan hasil yang nyata sehingga sejarah hak-hak dan kebebasan politik rakyat Inggris telah menyaksikan peralihan kekuasaan dari raja ke Parlemen Inggris yang mewakili kepentingan-kepentingan di luar kepentingan Raja. Dengan cepat, kekuasaan politik bergeser dari pemerintahan eksekutif ke badan legislatif. (Jimly asshiddiqie,34:2005)
Trend atau kecenderungan pergeseran kekuasaan dari pemerintah (eksekutif) ke parlemen (legislatif) itu berlanjut sampai abad ke-19 . Pengaruhnya terus meluas ke berbagai negara Eropa dan Amerika, seperti Perancis, Jerman, Belanda, Swedia, Rusia, Amerika Serikat dan lain-lain sebagainya. Peranan parlemen di negara-negara ini, selama abad ke-18 dan ke-19, terus berkembang bersamaan dengan meningkatnya aspirasi rakyat yang ingin membebaskan diri dari lingkungan penindasan para raja feodal dan kaum aristokrat. Perkembangan yang terjadi dalam praktek kekuasaan ini, bahkan tercermin pula dalam produksi pemikiran yang tumbuh dan berkembang selama abad ke-18 dan ke-19 ini. Karena itulah, selama periode ini, tercatat banyak bermunculan teori-teori dan karya-karya ilmiah penting berkenaan dengan gagasan demokrasi dan parlementarisme yang mempengaruhi paradigm pemikiran dalam studi hukum tata negara dan studi politik sampai sekarang. Bahkan di Inggris kemudian berkembang pula doktrin “parliamentary supremacy” sebagai doktrin hukum yang berkenaan dengan hubungan antara parlemen dengan pengadilan.
2. Pergeseran dari Parlemen ke Pemerintah
Pada abad ke-20 terjadi perubahan mendasar dalam perkembangan mengenai peran parlemen. Selama abad ini, muncul kecenderungan terjadinya pergeseran peran dari eksekutif ke legislatif atau dari pemerintah ke parlemen mengalami kemandekan. Sebaliknya, kecenderungan yang terjadi pada abad ke-20 dan menjelang abad ke-21 sekarang ini justru menunjukkan perubahan arah yang berlawanan. Sekarang ini pergeseran itu justru terjadi dari legislatif ke eksekutif. (Jimly Asshiddiqie,35:2005) :
Dewasa ini, para anggota parlemen nasional telah banyak kehilangan dibandingkan dengan apa yang mereka miliki sejak lama dalam monopoli inisiatif pembuatan dan penyusunan undang-undang dari para eksekutif kerajaan dan kaum aristokrat. Pembuatan undang-undang sekarang ini, sudah menjadi suatu pekerjaan bersama antara para legislator (parlemen) dan pihak eksekutif (pemerintah). Dalam hampir semua sistem yang ada sekarang, pihak eksekutif telah menjadi cabang kekuasaan yang lebih dominan pengaruhnya dan perannya sebagai sumber inisiatif pembuatan undang-undang itu. Para legislator, anggota parlemen di mana-mana, biasanya hanya memodifikasi rancangan UU yang diajukan pihak pemerintah, jarang mengambil inisiatif untuk mengajukan rancangan sendiri. Dalam banyak kasus, dominannya peranan aktual pemerintah ini tidak sejalan dengan semangat yang terkandung dalam berbagai teks konstitusi yang lazimnya menghendaki agar anggota parlemen, para legislator melakukan inisiatif dan elaborasi kreatif untuk menyusun dan merumuskan rancangan undang-undang sendiri.
Karena itu, banyak konstitusi dewasa ini yang merumuskan corak pembagian kekuasaan dengan cara baru di antara pihak legislatif dan eksekutif. Pihak eksekutif dianggap berwenang untuk berprakarsa (initiating), menulis (writing), dan melaksanakan (executing) undang-undang. sedangkan pihak legislatif mengubah (modification) dan mengawasi (supervision) pelaksanaan undang-undang itu. Dalam Konstitusi Turki, misalnya, dinyatakan bahwa pemerintah (Dewan Menteri) dan Majelis Nasional sama-sama merupakan badan yang dapat mengambil inisiatif dalam pembuatan undang-undang. Ketentuan seperti ini juga terdapat dalam konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sambil memberikan hak kepada DPR untuk mengajukan usul inisiatif guna mengajukan Rancangan Undang-Undang sendiri.
Contoh lain dapat pula dilihat dalam konstitusi Italia di mana pada Pasal 71 dinyatakan bahwa yang berhak mengambil inisiatif pembentukan undang-undang, pertama adalah pihak eksekutif (pemerintah), kedua adalah dua majelis parlemen, dan ketiga adalah rakyat, dengan dukungan oleh sekurang-kurangnya 50.000 orang yang berhak memilih. Meskipun hirarki dan eksekutif ke rakyat itu, dapat menimbulkan perdebatan tersendiri, tetapi yang jelas dalam konstitusi Italia itu pihak eksekutif, legislatif, dan rakyat luas yang merupakan pemilik kedaulatan dalam sistem demokrasi modern, sama-sama memegang hak inisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang.
Dengan dominannya peran eksekutif dalam mengambil inisiatif pelaksanaan fungsi legislatif itu dapat dibayangkan betapa perencanaan legislatif mudah dapat dikendalikan oleh pemerintah.
Apabila diteliti mengenai parlemen-parlemen di negara-negara lain, termasuk di lingkungan negara-negara yang mengaku sebagai penganut demokrasi, kita juga dapat menemukan kecenderungan yang mirip dengan apa yang terlihat di Italia tersebut. Karena itu, kita tidak dapat lagi menganggap faktor inisiatif dalam pembuatan undang-undang sebagai yang fungsi utama dalam parlemen modern. Dalam konteks Indonesia, kita misalnya tidak dapat menilai tinggi rendahnya atau kuat lemahnya kedudukan DPR berhadapan dengan pemerintah, dengan ukuran inisiatif pembuatan undang-undang. Pelaksanaan hak inisiatif itu, bukanlah merupakan ukuran yang utama. Yang pokok dalam tugas parlemen itu adalah mengadakan perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang penting-penting, mewadahi perdebatan mengenai pilihan-pilihan kebijaksanaan, dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
a. Wewenang Mengubah (Amandeman) RUU
Secara aktual, parlemen berwenang mengadakan perubahan, mengajukan penolakan, dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang Pada umumnya diajukan oleh pihak eksekutif (pemerintah). Ada juga rancangan undang-undang yang diajukan oleh pihak anggota parlemen sendiri, tetapi dimana-mana selalu terjadi bahwa inisiatif pihak eksekutif sendirilah yang lebih dominan. Menurut Duchacek, perbandingan inisiatif pemerintah dan inisiatif parlemen itu di Inggris tercatat 8 berbanding 1. Perbandingan yang sama juga terjadi di Perancis, dimana setiap 8 rancangan undang-undang yang diajukan, hanya ada 1 usulan yang berasal dan anggota parlemen.
Jika ratio perbandingan itu digunakan untuk menilai keadaan kita di Indonesia, maka keluhan-keluhan yang selama ini diajukan sehubungan dengan rendahnya tingkat inisiatif anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita dalam mengajukan rancangan undang-undang, ternyata tidak khas. Di mana-mana hal yang sama juga terjadi, bahkan di negara-negara yang dianggap “maju” tingkat demokrasinya sekalipun. Malahan ada suatu masa dimana inisiatif parlemen itu cukup signifikan dalam sejarah ketatanegaraan kita di Indonesia, yaitu di masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia dan di masa Demokrasi Parlementer antara tahun 1945-1959. Tetapi, setelah periode itu memang harus diakui bahwa inisiatif parlemen Indonesia selama ini mengalami penurunan drastis. Bahkan apabila dilihat secara prosedural, kemungkinan untuk melakukan inisiatif perundang-undangan itu oleh pihak parlemen atau anggota DPR memang telah berkembang menjadi lebih sulit dan waktu ke waktu.
Pada tahun 1947, berdasarkan keputusan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tanggal 10 Juni, untuk mengajukan usul interpelasi dan angket hanya diperlukan syarat dukungan sebanyak tiga orang anggota. Akan tetapi, menurut ketentuan Tata Tertib DPR-RI sekarang, inisiatif itu harus diambil oleh sekunang-kurangnya dua fraksi di DPR. Begitu pula untuk mengajukan usul pernyataan pendapat (memorandum, resolusi atau mosi), jumlah yang dipersyaratkan adalah 30 orang. Selain itu ditentukan pula bahwa ke-3o orang itu, tidak dibolehkan hanya terdiri dari 1 fraksi saja. Malah, untuk usul amandemen dipersyarakatkan pula bahwa usulan itu harus diajukan langsung oleh fraksi, tidak boleh dilakukan oleh perseorangan. Ketentuan demikian terus dipertahankan dalam Tata Tertib DPR 1978 sampai sekarang. Ketentuan persyaratan yang demikian ku tentu saja jauh lebih sulit dilaksanakan daripada syarat-syarat yang berlaku sebelumnya, yaitu cukup dengan tandatangan beberapa orang anggota parlemen saja.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme penggunaan hak-hak DPR itu, termasuk mengenai hak usul inisiatif, telah berkembang menjadi semakin menyulitkan. Mekanisme yang harus ditempuh lebih berat apabila dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya. Para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, baik sebagai pribadi maupun kelembagaan, menghadapi semakin banyak kesulitan untuk menggunakan hak-hak yang dimilikinya dalam rangka memfungsikan lembaga dewan. Kenyataan ini tidak membantu upaya untuk meningkatkan peran Dewan Perwakilan Rakyat yang secara teoritis-juridis menurut ketentuan UUD 1945 diakui berada dalam hubungan yang sederajat dengan Pemerintah. Karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat kecenderungan di berbagai pemerintahan di mana saja di dunia ini, untuk mengendalikan hak-hak parlemen dan para anggota parlemen sampai ke tingkat yang tidak akan menyulitkan pemerintah. Dalam hal ini, sudah tentu termasuk pula penggunaan hak usul inisiatif di bidang legislasi perundang-undangan. Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana para anggota parlemen itu secara jeli melihat hak dan kekuasaan mana yang dimiliki yang dapat dikembangkan secara lebih efektif agar keberadaan mereka sebagai wakil rakyat dapat benar-benar memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat banyak.
Karena itu, bagi para anggota parlemen itu sebenarnya lebih baik memusatkan perhatian pada upaya meningkatkan penggunaan hak-hak pengawasan, dari pada mempersoalkan pelaksanaan hak-hak mereka dalam kaitannya dengan proses legislasi. Kalau pun hak itu berkaitan dengan perundang-undangan, maka fokus perhatian sebaiknya diarahkan dan dikaitkan dengan hak untuk mengubah (amandemen) bukan untuk mengambil prakarsa penyusunan undang-undang (hak inislatif) seperti yang sering dipahami selama ini. Hak untuk mengubah rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan oleh pemerintah jauh lebih penting, lebih praktis, rea1istis dan lebih mangkus (efektif) dibandingkan dengan hak mereka untuk berinisiatif membuat rancangan undang-undang (RUU) sendiri. Analisis-analisis mendalam terhadap RUU yang dilanjutkan oleh pihak pemerintah juga akan memungkinkan pihak parlemen dapat bersikap lebih kritis dalam memberikan penilaian terhadap RUU sehingga memungkinkan mereka mengadakan amandemen-amandemen yang diperlukan dalam rangka menjamin kepentingan rakyat banyak.
b. Mengembangkan Debat Kebijaksanaan Secara Terbuka
Yang juga sangat penting dalam hubungan dengan fungsi parlemen itu adalah fungsi parlemen memperjelas kebijakan dan pilihan-pilihan kebijakan melalui perdebatan-perdebatan pendapat umum. Secara harfiah, kata parliament’ sebenarnya berasal dan kata Perancis ‘le parle’ yang berarti berbicara (to speak) , tetapi dalam perkembangan zaman modern sekarang ini pengertiannya mengalami perubahan.
Perdebatan-perdebatan parlemen merupakan alat (tools) yang efektif dalam komunikasi politik dan merupakan wahana dalam melakukan pengawasan (control) terhadap pihak eksekutif. Perdebatan-perdebatan itu dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya suasana keterbukaan akan kritik, kebebasan untuk mengorganisasikan suara sumbang dan pendapat berbeda baik dan luar maupun dari dalam parlemen. Jika perbedaan pendapat dilakukan secara terhormat dan terbuka, maka secara politis kedua belah pihak sama-sama dapat belajar dan perdebatan itu mengenai hal-hal penting bagi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Proses belajar itu diperlukan untuk menumbuhkan dan mendewasakan budaya demokrasi. Karena pada akhirnya, demokrasi itu bukan hanya soal teknis prosedural dalam kehidupan bernegara, tetapi yang lebih penting lagi adalah soal mentalitas dan perlaku budaya masyarakat dalam berhubungan dengan kekuasaan.
Di lingkungan negara-negara otoritarian, khususnya negara-negara komunis, parlemen berfungsi sebagai alat bagi partai untuk melakukan indokrinitas ideologis. Parlemen diperlakukan sebagai wahana untuk mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan pemerintah kepada massa rakyat.
Sebaliknya di lingkungan negara-negara demokrasi, perdebatan dan perbedaan pendapat antara pemerintah dengan anggota parlemen itu justru berkembang secara rasional. Para pejabat tidak merasa sungkan untuk berbeda pendapat dengan anggota parlemen dan menerima kenyataan bahwa anggota parlemen mengajukan pendapat yang berbeda mengenai kebijaksanaan yang mereka tempuh. Demikian pula para anggota parlemen dengan rasional tidak segan-segan mengajukan pendapat yang berbeda dengan aparat pemerintah tanpa harus berarti bersikap heroik. Perdebatan dilakukan semata-mata karena rasionalitas kepentingan umum yang harus diperjuangkan. Masyarakat umum pun menanggapi perbedaan pendapat itu secara rasional pula tanpa harus memandangnya sebagai sesuatu yang serius dan mengganggu ketenteraman.
c. Pengawasan terhadap Pemerintahan dan Pembelanjaan Negara
Fungsi ketiga dari parlemen di negara yang demokratis adalah mendorong dan melakukan pengawasan terhadap performance administrator dalam melaksanakan tugasnya. Pengawasan dilakukan untuk mengendalikan jalannya pemerintahan dan pelaksanaan aturan yang berlaku serta pembelanjaan negara agar tetap berada di jalan yang telah disepakati bersama. Pengawasan yang bebas dan merdeka itu, di zaman modern sekarang ini justru dianggap jauh lebih penting dibandingkan dengan fungsi legislasi yang banyak dipesoalkan orang berkenaan dengan fungsi parlemen.
Fungsi parlemen yang penting justru adalah untuk menyalurkan keluhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, dan membahas prinsip-prinsip yang perlu dijadikan pegangan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas. Parlemen tidak didirikan untuk mengatur (to rule), juga tidak untuk menyusun dan merumuskan suatu kebijaksanaan, tetapi untuk mengawasi pelaksanaan aturan dan kebijaksanaan itulah yang lebih penting. Bahkan peran yang dapat dilakukan oleh parlemen itu dapat dirumuskan menjadi empat , yaitu ‘Review, Revise, Reject, and Ratifi )”. Artinya, pelaksanaan tugas lembaga parlemen itu menyangkut kegiatan menilai, mengubah, menolak, atau mengesahkan rancangan-rancangan yang diajukan kepadanya oleh lembaga eksekutif. Keempatnya berkaitan erat dengan tiga fungsi utama parlemen, yaltu melakukan modifikasi peraturan. mengadakan komunikasi melalui perdebatan dan pidato, dan mengadakan pengawasan terhadap administrasi dan pembelanjaan.
3. Akar Dominasi Pemerintah atas Parlemen
Pada abad ke-18 dan ke-19, fungsi negara cenderung dibatasi karena munculnya kesadaran umum masyarakat, terutama di Eropa akan makna demokrasi dan hak-hak rakyat. Sebagai akibat dan gerakan aufkralung, rasionalisme, sekulerisme, dan revolusi industri, masyarakat Eropa mengalami kebangkitan luar biasa dan mendorong munculnya usaha-usaha untuk membatasi kekuasaan raja dimana-mana. Akibatnya, peran negara terbatas sebagai penjaga keamanan yang dikenal dengan istilah doktnin “Nachwachtersstaat” (negara penjaga malam). Negara yang diidealkan ketika itu adalah negara yang paling sedikit terlibat dalam urusan masyarakat umum. Muncul adagium yang terkenal dengan sebutan “the best government is the least government”. Bersamaan dengan itu, berkembang pula gagasan parlementarisme modern yang mewadahi tuntutan perkembangan aspirasi rakyat untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam mekanisme kenegaraan. Perkembangan yang demikian inilah yang menyebabkan timbulnya kecenderungan bergesernya sebagian kekuasaan pemerintahan ke tangan rakyat melalui parlemen sebagai fenomena abad ke-18 dan ke-19.
Namun demikian, sejak akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 banyak terjadi perkembangan-perkembangan baru. Konsep negara jaga malam (“nachwachtersstaat”) dengan prinsip “the best government is the least government”, mengalami perubahan. Karena berkembangnya disparitas pendapat dalam masyarakat yang menyebabkan munculnya fenomena kemiskinan massal di berbagai negara, maka timbul tuntutan kepada negara untuk memperluas tanggung jawab sosialnya guna mengatasi fenomena kemiskinan itu. Inilah yang antara lain menyebabkan muncul dan berkembangnya aliran sosialisme dalam sejarah Eropa. Karena itu, muncul pula doktrin ‘Welfare State” atau “Welvaartsstaat”(Negara Kesejahteraan) pada akhir abad ke-19. Doktrin ini berkembang cepat dan mempengaruhi proses pembentukan negara-negara baru yang banyak bermunculan pada abad ke-20 sebagai akibat terjadi dekolonisasi diberbagai kawasan Asia dan Afrika dari cengkeraman penjajahan negara-negara Barat. Bahkan, pengaruh doktrin “WelVaareStaat” ini juga mempengaruhi proses perumusan berbagai konstitusi di negara-negara Amerika dan Eropa sendiri.
Semua ini tentu juga berpengaruh sehingga kekuasaan pemerintah cenderung semakin kuat sesuai dengan tuntutan kebutuhan akan tanggung jawab mereka yang lebih besar untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Tetapi, perkembangan yang terjadi kemudian selama abad ke-20 telah menampilkan banyak contoh yang kurang menyenangkan dalam perkembangan hak-hak dan kepentingan rakyat banyak yang diakibatkan oleh besarnya kekuasaan pemerintah negara-negara modern. Karena itu, menjelang berakhirnya abad ke-20 ini, mulai muncul kesadaran baru mengenai pentingnya memberi tempat kepada suara rakyat melalui parlemen dalam berhadapan dengan kekuasaan yang besar dan pemerintah. Kesadaran inilah yang kemudian akan terus mendorong semakin menguatnya peran parlemen di kemudian hari.
Namun, sebelum kita menelaah perkembangan yang akan datang, di sini perlu ditelaah lebih dulu apa yang sesungguhnya terjadi sejak akhir abad ke-19 dan selama abad ke-20 sehingga pergeseran kekuasaan ke arah pemerintah itu berlangsung demikian deras. Besarnya kekuasaan pemerintah menyebabkan birokrasi negara modern cenderung dominan dan menguasai fungsi-fungsi parlemen, termasuk di lingkungan negara-negara penganut demokrasi di kalangan negara-negara barat sendiri yang justru biasanya mengklaim dirinya sebagai simbol demokrasi. Dalam hubungan in perlu dikemukakan beberapa fenomena yang dapat dianggap sebagai penyebab timbulnya atau terjadinya pergeseran kekuasaan dan parlemen ke pemerintah selama abad ke-2o.
a. Fenomena Negara Kesejahteraan (“Welfare State”)
Seperti dikemukakan di atas, salah satu fenomena penting yang terjadi pada akhir abad ke-19 adalah muncul sosialisme yang mendorong berkembangnya gagasan ‘negara kesejahteraan’. Dengan gagasan ini, negara didorong untuk semakin meningkatkan perannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, termasuk masalah-masalah perekonomian yang dalam tradisi liberalisme sebelumnya cenderung dianggap sebagai urusan masyarakat sendiri. Kecenderungan dianutnya paham negara kesejahteraan ini terjadi di mana-mana termasuk di lingkungan negara-negara yang memang telah mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi
Akibat meluasnya fungsi dan peran negara dalam doktrin negara kesejahteraan ini, maka peran Pemerintah juga menjadi semakin luas jangkauannya. Untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial ekonomi dalam masyarakat, pembangunan ekonomipun direncanakan dan dilaksanakan secara nasional. Hal ini bertentangan dengan kecenderungan yang terjadi dengan parlemen yang biasanya lebih berorientasi pada kepentingan lokal yang cenderung terikat pada kepentingan provinsial. Hal-hal seperti inilah yang antara lain pada gilirannya akan dapat menyebabkan kekuasaan pemerintah menjadi semakin besar dalam praktek kenegaraan sehari-hari.
b. Fenomena Konflik dan Perang Antar Negara
Pada abad ke-20, kita juga menyaksikan terjadinya berbagai bentuk konflik dan peperangan antar negara di hampir semua kawasan dunia. Bahkan, dua perang yang melibatkan banyak negara secara serentak di berbagai kawasan dunia yang kemudian dikenal dengan Perang Dunia juga terjadi selama abad ke-20. Perang Dunia Pertama terjadi pada tahun 1914-1918, sedangkan Perang Dunia Kedua terjadi pada tahun 1940-1945.
Fenomena Perang Dunia itu dilanjutkan pula dengan munculnya dua kekuatan raksasa di tampuk kepemimpinan dunia yang menyebabkan terjadi polarisasi kutub-kutub kekuatan internasional yang dilambangkan oleh dua ‘super power’ Amerika Serikat dan Uni Soviet. Polarisasi kekuatan dunia di bawah pengaruh kedua ‘super power’ ini mendorong pula terjadinya banyak konflik dan perpecahan serta perang saudara di banyak negara Amerika Latin, Asia, dan Afrika selama paruh pertama abad ke-20. Perang-perang internal itu bahkan mempengaruhi pula pola hubungan antar negara bertetangga, dan bahkan pola hubungan antar bangsa melalui berbagai forum dan organisasi internasional. Akibatnya, peran pemerintah dan negara-negara yang bersangkutan perlu diperkuat, termasuk dalam menghadapi rakyatnya sendiri.
c. Perkembangan Sistem Kepartaian dan Jumlah Partai Politik
Sistem kepartaian dan jumlah partai politik, terutama di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer (kabinet), mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap hubungan antara parlemen dan pemerintah. Dalam sistem banyak partai (multi party), biasanya parlemen tidak begitu saja dapat dikendalikan oleh pemerintah. Peran partai politik yang saling bersaing itu, terutama dalam sistem pemerintahan parlementer (kabinet), biasanya lebih dominan pengaruhnya, sehingga pemerintah sukar untuk mengendalikan parlemen yang berisi wakil-wakil rakyat yang berafiliasi kepada banyak partai yang saling berkompetisi. Bahkan dapat dikatakan bahwa sistem parlementer dengan sistem banyak partai ini, terlepas dan kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalamnya, merupakan kondisi terbaik untuk menerapkan prinsip supremasi legi slatif (legislatif supremacy). Itu sebabnya maka pemerintahan dengan sistem banyak partai yang didasarkan atas supremasi politik parlemen nasional ini biasa disebut pula dengan “Assembly Government”. Lagi pula, dalam sistem ini jumlah pantai tidak terbatas. Setiap waktu dapat saja terbentuk partai politik baru karena perpecahan antar tokoh-tokoh partai, dan sebagainya, sehingga partai politik dapat berkembang dianalisis dan sulit dikendalikan oleh pemerintah. Akibatnya, pemerintahlah yang justru dikendalikan oleh parlemen, bukan parlemen yang dikendalikan oleh pemerintah.
Sebaliknya, dalam suatu negara yang menganut sistem partai tunggal, peran partai biasanya sangat dominan, dimana administrasi pemerintahan dengan mudah dapat dikendalikan oleh partai. Dalam sistem komunis dan sistem pantai tunggal lainnya, kabinet berfungsi sebagai “instrumen” bagi pimpinan partai, dan lembaga parlemen bertindak sebagai corong upacara bagi kepentingan partai politik. Hal ini terlihat, misalnya, pada peran parlemen Uni Soviet dulu yang disebut Supreme Soviet, Cortes di Spanyol, dan Kongres Rakyat di Republik Rakyat Cina. Pimpinan partai menduduki posisi-posisi kunci dalam kabinet, dan menyelesaikan posisi-posisi seremonial di lembaga parlemen kepada tokoh-tokoh tua dan partai ataupun tokoh-tokoh muda kelas dua yang belum berpengalaman. Meskipun ditegaskan, misalnya, organ kekuasaan negara yang tertinggi adalah “the Supreme Soviet of the USSR”, dan bahwa organ eksekutif dan administrative tertinggi adalah Dewan Menteri, keduanya tetap tunduk kepada perintah dan kebijaksanaan-kebijaksanaan partai komunis sebagai satu-satunya partai politik. Tetapi, karena pimpinan partai pada pokoknya identik dengan pimpinan kabinet, maka sebenarnya pemerintahlah yang paling berkuasa dalam praktek sehari-hari. Pada gilirannya mereka jugalah yang mengendalikan kekuasaan partai dan parlemen.
Lain lagi kalau sistem yang dianut adalah sistem dua partai ataupun sistem tiga partai. Dalam sistem dua partai yang dianut di Amerika Serikat, dan begitu pula sistem tiga partai yang dianut di Indonesia pada masa Orde Baru, jumlah partai politik itu relatif tetap dan waktu ke waktu. Pemerintah negara-negara yang menganut sistem yang seperti ini pada umumnya tidak menghadapi kesulitan yang berarti untuk menghadapi tantangan partai politik, karena penguasaan sumber daya terletak di tangan pemerintah. Lagi pula, dalam sistem dua partai, biasanya pemerintah itu terdiri atas tokoh atau pemimpin partai yang berhasil memenangkan mayoritas suara rakyat di parlemen, sehingga pimpinan partai yang memerintah dengan mudah dapat mengendalikan suara mayoritas di parlemen sejalan dengan kebijaksanaan yang ditempuhnya. Hak konstitusional parlemen untuk menjadikan kabinet dalam sistem ini biasanya tidak pernah digunakan karena suara mayoritas di parlemen tidak akan memberikan kesempatan kepada pihak oposisi mengambil keuntungan politik karenanya. Sistem demikian ini pulalah yang diterapkan di Inggris.
Kecenderungan yang serupa juga terdapat dalam sistem tiga pantai seperti yang dipraktekkan di Indonesia masa Orde Baru. Adanya pembatasan jumlah partai menjadi satu Golongan Karya (GOLKAR), dan dua partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menyebabkan pola persaingan politik menjadi terpola secara tetap. Lagi pula secara formal sering dikatakan oleh Pemerintah bahwa sesungguhnya partai politik yang dikenal hanya dua, yaitu PPP dun PDI. Artinya, di sini yang dianut adalah sistem dua partai, bukan tiga partai. Meskipun kalangan akademis seringkali melontarkan pendapat kritis bahwa sesungguhnya GOLKAR juga adalah partai politik dan karena itu harus diperlakukan sebagai partai politik sebagaimana dua partai lainnya, tetapi sesungguhnya sistem yang diterapkan disini memang menghendaki bahwa Golongan Karya itu tidak diperlakukan seperti layaknya suatu partai politik yang lazim.
Dalam praktek yang diterapkan, Golongan Karya (Golkar) lebih merupakan partai Pemerintah (the Ruler’s Party) daripada partai yang memerintah (the Ruling Party). Karena itu, hubungan politik yang dibangun antara Golkar dengan dua partai lainnya, seolah sama dengan sistem dua partai di negara-negara lain yang menganut sistem dua partai. ‘Kelompok Partai Imajiner I’ terdiri atas Golongan Karya (Golkar) yang didukung oleh tiga jalur kekuatan politik pemerintah yang dikenal dengan sebutan ABG, yaitu Angkatan Bersenjata (A), Birokrasi (B), dan Golkar (G). Sedangkan ‘Kelompok Partai Imajiner II’ terdiri atas PPP dan PDI yang satu sama lain dibiarkan untuk terus saling bersaing.
Pola hubungan di antara Golongan Karya dan partai politik itu, dapat pula dianggap bahwa partai politik yang sesungguhnya dalam sistem Indonesia itu memang terdiri atas dua partai, yaitu PPP dan PDI. Sedangkan Golkar bukanlah partai politik dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanyalah ‘instrumen politik’ pemerintah untuk menghadapi parlemen dan aspirasi politik rakyat. Dengan demikian, terdapat dua perangkat sistem yang diterapkan sekaligus disini, yaitu di satu pihak terdapat sistem dua partai imajiner yang terdiri dan PPP dan PDI, dimana Golkar tidak disebut sebagai partai. Di pihak lain, terdapat pula sistem dua partai imajiner lain yang terdiri atas Partai ‘ABG’ (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) dan Partai ‘Parpol’ (PPP dan PDI). Dengan cara ini, pemerintah secara terus menerus akan dapat mengendalikan parlemen (DPR) melalui jaringan ABG dalam berhadapan dengan parpol, tetapi pada saat yang sama pemerintah juga dapat mengendalikan parlemen dan kekuasaan atas dinamika politik dengan mendorong persaingan antara kedua partai politik PPP dan PDI. Dengan perkataan lain, dalam sistem ‘tiga partai’ seperti yang diterapkan di Indonesia, terjadi juga kecenderungan dominasi pemerintah atas lembaga parlemen seperti kecenderungan yang terjadi dalam sistem partai tunggal.
Di zaman sekarang ini, terutama sejak awal abad ke-20, muncul kecenderungan bahwa sistem partai tunggal dan sistem dua partai itu semakin populer. Sebaliknya. sistem multi partai seperti yang banyak diterapkan di berbagai negara yang menganut sistem kabinet justru banyak menghadapi kritik karena kelemahan-kelemahannya yang kurang menjamin stabilitas. Karena dapat dikatakan bahwa muncul dan berkembangnya sistem partai tunggal dan sistem dua partai itu, bersamaan dengan semakin kurang populernya sistem banyak partai, juga menjadi salah satu sebab yang mendorong terjadinya pergeseran kekuasaan ke pemerintah dalam perkembangan sejarah abad ke-20.
d. Kompleksitas Perkembangan Tugas-Tugas Pemerintahan
Selain ketiga faktor tersebut di atas, dapat pula dikemukakan bahwa dalam perjalanan dan waktu ke waktu permasalahan yang harus dihadapi dalam setiap masyarakat berkembang semakin kompleks. Karena itu, kompleksitas pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan di suatu negara juga berkembang pesat sesuai dengan tuntutan zaman. Kompleksitas tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan itu menyebabkan semakin tumbuhnya tuntutan akan keahlian (sumber daya manusia) yang semakin beragam dan semakin teknis. Di samping itu, kebutuhan untuk menggunakan berbagai sarana dan prasarana yang lebih banyak dan lebih beragam juga semakin meningkat. Kedua jenis sumber daya ini biasanya lebih banyak dikuasai oleh pemerintah. Karena itu, peran pemerintah cenderung lebih besar, terutama dalam berhadapan dengan rakyat banyak dan masyarakat luas. Itulah sebabnya maka di banyak negara peran pemerintah selalu lebih kuat dibandingkan dengan parlemen yang tidak menguasai sumber daya pendukung yang mencukupi untuk menjalankan tugas-tugasnya sendiri.
Di Indonesia, dalam UUD 1945, juga dapat dilihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
1. “ Dalam hal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang”,
2. “ Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”,
3. “ Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.”
Disini dinyatakan bahwa tanpa persetujuan sebelumnya dan Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah dapat saja menetapkan suatu peraturan sebagai pengganti undang-undang (perpu) karena alasan atau pertimbangan keadaan yang mendesak. Untuk selanjutnya, peraturan sementara itu harus diajukan untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu sejak perpu diberlakukan. Jika kemudian Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat menyetujuinya (meratifikasinya), perpu tersebut harus dicabut. Akan tetapi, meskipun demikian, setidak-tidaknya peraturan tersebut secara teoritis sudah dilaksanakan selama satu tahun. Kemungkinan bagi pemerintah untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, dapat dikatakan merupakan penyerahan wewenang yang bersifat legislatif oleh parlemen kepada pemerintah. Hal ini dapat dikatakan sebagai salah satu contoh telah terjadinya pergeseran kekuasaan dan parlemen ke pemerintah.
2.3. Kecendrungan Menjelang Abad ke-21
Pergeseran-pergeseran kekuasaan dalam hubungan antara parlemen dan pemerintah di semua negara akan terus berlangsung sangat dinamis sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan waktu ke waktu. Jika pada abad ke-i8 dan ke-19, fungsi negara (pemerintah) cenderung dibatasi karena semakin menguatnya posisi politik rakyat yang diwakili oleh lembaga parlemen, maka sejak akhir abad-19 dan selama paruh pertama abad ke-20 telah terjadi proses etatisasi dalam berbagai kehidupan kemasyarakatan dimana-mana. Selama kurun waktu hampir satu abad, posisi negara mengalami peningkatan dan perluasan luar biasa, sehingga mempengaruhi posisi pemerintah dalam berhadapan dengan rakyat banyak, termasuk yang diwakili oleh lembaga parlemen. Jika sebelumnya orang mengidealkan konsep Negara Penjaga Malam (Nachwachtersstaat) dengan fungsinya yang terbatas, maka Pada abad ke-20 orang mengidealkan konsep ‘Welfare State’ (Negara Kesejahteraan) yang memikul tanggung jawab sosial ekonomi yang jauh lebih besar dan lebih luas dibandingkan dengan naachwachtersstaat’. Jika sebelumnya, orang mengagungkan doktrin “the best government is the least government”, maka dalam konsep ‘Welfare State’, orang mendambakan peran dan pelaksanaan tanggungjawab negara yang lebih besar untuk menyejahterakan rakyat banyak.
Pergeseran dan ‘nachwachterstaat’ ke ‘Welfare State’ ini mempunyai pengaruh besar. Kekuasaan pemerintah cenderung semakin kuat sesuai dengan tuntutan kebutuhan akan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Tetapi, perkembangan yang terjadi kemudian selama abad ke-20 telah menampilkan banyak contoh yang kurang menyenangkan dalam perkembangan hak-hak dan kepentingan rakyat banyak yang diakibatkan oleh besarnya kekuasaan pemerintah negara-negara modern. Karena itu, menjelang berakhir abed ke-20 ini, mulai muncul kesadaran baru mengenal pentingnya memberi tempat kepada suara rakyat baik secara langsung maupun melalui parlemen dalam berhadapan dengan kekuasaan yang besar dan pemerintah.
Berbagai isu mondial yang mencerminkan terjadinya kecenderungan demikian itu lazim menghiasi berbagai media massa dl seluruh dunia, baik yang berkenaan dengan soal-soal politik mau pun ekonomi. Isu-isu politik yang banyak berkembang dewasa ini adalah isu demokrasi dan demokratisasi, isu HAM, dan lingkungan hidup. Meskipun disana-sini mulai bermunculan sikap skeptis mengenai gagasan demokrasi, namun gelombang demokratisasi yang terjadi dimana-mana di seluruh dunia nampaknya sulit untuk dihindari. Seperti yang digambarkan oleh Samuel P. Huntington sebagai fenomena demokratisasi gelombang ketiga yang telah dimulai sejak tumbangnya rezim pemerintahan diktator Portugal pada tahun 1974. Setelah tumbangnya rezim ini, gerakan demokratisasi terus berlangsung di berbagai negara Eropa, Asia, dan Amerika di mana rezim-rezim diktator berhasil digantikan oleh rezim-rezim yang demokratis.
Sejalan dengan itu, berkembang pula aspirasi yang semakin kuat mengenal pentingnya perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Masyarakat di lingkungan negara-negara yang menganggap dirinya paling baik dalam pelaksanaan HAM ini, dengan tidak sungkannya berusaha untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan HAM di negara-negara lain sungguhpun hal itu menurut yang lazim biasa dianggap tindakan tidak terpuji karena berarti ikut campur tangan ke dalam persoalan dalam negeri orang lain. Hal ini berarti bahwa sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak terpuji, maka dewasa ini atas nama perjuangan HAM hal itu dianggap sesuatu yang amat terpuji. Inilah sistem nilai baru yang sedang melanda dunia sekarang ini dan akan terus mempengaruhi cara berpikir masyarakat dunia di masa-masa mendatang. Sedangkan isu-isu yang berkembang di lapangan ekonomi, antara lain meliputi isu deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan.
Yang terjadi di balik semua Isu itu sesungguhnya adalah munculnya kembali apresiasi terhadap paham individualisme dan liberalisme baru, menyusul kehancuran berbagai rezim komunisme sebagai bentuk ekstrim dan paham sosialisme di zaman modem sekarang ini. Kecenderungan ke arah individualisme dan liberalisme baru itu di lapangan politik terwujud dalam harapan-harapan baru mengenai pelaksanaan demokrasi dan perlindungan hak-hak asasi manusia, dan di lapangan ekonomi dalam harapan-harapan baru mengenai mekanisme pasar bebas. Dalam kedua fenomena ini, otonomi setiap individu manusia semakin menonjol dengan asumsi bahwa nasib mereka semata-mata harus digantungkan kepada usaha individual mereka sendiri untuk meraih kemajuan-kemajuan dalam kehidupan mereka.
Bersamaan dengan itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang pula dengan cepat dibarengi dengan anis globalisasi kebudayaan yang mendorong terjadinya perluasan pengaruh yang cepat antar peradaban di berbagai bagian dunia. Pada era globalisasi sekarang dan nanti, suasana keterbukaan akan semakin berkembang dengan tingkat persaingan antar masyarakat dan bangsa yang semakin ketat. Di pihak lain, kecenderungan untuk saling bekerjasama juga akan meningkat cepat karena orang akan berusaha mengadakan penyesuaian-penyesuaian barn antar sesamanya, baik pada tingkat lokal, regional, maupun internasional.
Di samping itu, pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu akan terus mendorong pula perikehidupan yang serba industrialis. Kebudayaan umat manusia akan terus didorong ke arah perubahan-perubahan nilai yang disesuaikan dengan kebutuhan era industri. Untuk memenuhi kebutuhan itu, ukuran-ukuran profesionalisme dan teknik alitis semakin merasuk ke semua sektor kehidupan manusia di mana-mana. Dunia industri dan perusahaan-perusahaan swasta juga terus tumbuh. Dengan demikian, peran perusahaan-perusahaan besar seperti dan Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Korea, dan lain-lain di seluruh dunia mengalami peningkatan diiringi oleh kecenderungan makin menciutnya peran negara yang ditunjukkan oleh fenomena gelombang demokratisasi di seluruh dunia. Karena itu, peran negara diperkirakan akan semakin menciut bersamaan dengan semakin meningkatkan peran dunia usaha dan industri swasta.
Dalam perikehidupan yang didominasi oleh pertimbangan ekonomi itu, peran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) juga akan terus meningkat sebagai ukuran penambah nilai ekonomis. Dalam keadaan itu, maka sebagai pengimbangnya, ukuran-ukuran keimanan dan ketaqwaan (imtaq) umat manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga turut berkembang pula. Akan tetapi, yang perlu dan relevan dicatat khusus disini adalah aspek perkembangan iptek itu. Di masa mendatang, perikehidupan yang serba iptek ini akan terus meningkat dalam kehidupan masyarakat. Dengan perkataan lain, pola kehidupan baru di masa datang itu akan muncul dengan ciri-cirinya yang sangat menekankan pentingnya “techno-culture” dan “techno-structure” yang bertumpu pada kemandirian peran individu yang bersifat teknis, baik di bidang politik, ekonomi, maupun budaya. Kompetensi intelektual dan teknologis semakin berkembang menjadi ukuran-ukuran baru dalam sistem penghargaan masyarakat dan mempengaruhi serta menciptakan pola-pola stratifikasi sosial baru dalam masyarakat.
Kalau dulu, ukuran darah, ukuran kekerabatan, kesukuan, agama mendapat porsi yang besar dalam pertimbangan penilaian status seseorang, maka di masa datang ukuran-ukuran tradisional Itu akan digeser oleh ukuran-ukuran rasionalitas, intelektualitas, dan teknikalitas. Semua ini akan mendorong sikap dan pola perilaku yang semakin rasional serta penyusunan struktur masyarakat yang didasarkan atas komposisi-komposisi baru menurut ukuran-ukuran yang lebih teknis. Dengan perkataan lain, baik kultur maupun struktur kehidupan masyarakat akan mengalami penyesuaian-penyesuaian baru ke arah apa yang disebut dengan ‘techno-culture’ dan ‘techno-structure’ tersebut di atas.
Sejalan dengan berkembangnya “techno-culture” dan “techno-structure” serta kecenderungan ke arah liberalisme dan individualisme baru yang disertai oleh tuntutan-tuntutan otonomi individual rakyat yang semakin besar itu, berkembang pula gagasan-gagasan mengenal pentingnya “people’s empowerment” (pemberdayaan rakyat) dan “civil society” yang dianggap sebagai ciri penting aspirasi ke arah demokratisasi. Aspirasi ke arah pembentukan “civil society” ini sangat kuat pengaruhnya dan bahkan di Indonesia telah dikembangkan dalam wacana masyarakat madani yang dianggap dapat diterima umum karena adanya sentuhan-sentuhan moralitas yang lebih dinilai sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam perspektif ini orang digiring ke arah jalan pikiran yang mempertentangkan secara dikotomis antara negara dengan masyarakat dan antara pemerintah dengan rakyat. Jika ini terus berlangsung, maka hal ini akan terus memacu proses ke arah penguatan aspirasi rakyat dalam waktu yang lebih cepat lagi.
Proses penguatan aspirasi rakyat itu tercermin dalam peningkatan peran partai politik yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula peningkatan peran parlemen sebagai hasil dan proses politik di tingkat masyarakat. Apa yang terjadi dengan gerakan reformasi yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Orde Barn pada pertengahan bulan Mei tahun 1998, tidak lebih dan tidak kurang, adalah pencerminan bahwa di Indonesia sungguh-sungguh terjadi proses penguatan aspirasi rakyat dalam berhadapan dengan pemerintahan otoritarian yang dengan sangat kuat telah berkuasa selama lebih dan tiga dekade. Dalam pertarungan antara aspirasi rakyat dengan kekuasaan otoritarian itu, akhirnya suara rakyatlah yang menang. Karena itu, dalam proses selanjutnya, kuatnya aspirasi rakyat itu secara bertahap akan mempengaruhi danakan terlembagalcan dalam peran partai politik dan peran parlemen yang makin kuat dalam berhadapan dengan pemerintah.
2.4. Eksekutif-Legislatif di Indonesia
1. Pergeseran dari Parlemen ke Pemerintah
Seperti dikemukakan di atas, pergeseran-pergeseran peran dalam hubungan antara parlemen dan pemerintah terjadi dimana-mana sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan waktu ke waktu. Sejak Indonesia merdeka pada bulan Agustus 1945 sampai sekarang, dinamika hubungan antara parlemen dan pemerintah Indonesia juga berlangsung sangat dinamis pada setiap kurun sejarah ketatanegaraan kita. Selama tahun sejak kemerdekaan itu, sejarah ketatanegaraan kita telah mencatat lima orang tokoh yang menjadi Presiden, yaitu Soekarno, Safruddin Prawiranegara (Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia), Soeharto, B.J. Habibie, dan Abdurrahian Wahid. Sedangkan1embaga paremen kita secara berubah-ubah dan berganti-ganti disebut dengan nama Konstituante, DPR, Senat, DPRGR, DPRS, MPRS, dan sekarang dinamakan MPR, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dinamika pergeseran kekuasaan dan parlemen ke pemerintah dan kemudian bergeser lagi dan pemerintah ke parlemen berlangsung secara sangat nyata selama kurun waktu tahun sejak kemerdekaan itu. Seperti dapat dibaca dalam disertasi Ismail Suny pada tahun 1965 yang kemudian dibukukan dengan judul Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, sangat nyata bahwa selama pemerintahan Presiden Soekarno, peran dan kekuasaan pemerintah berkembang makin kuat dan waktu ke waktu. Pada awal kemerdekaan, mula-mula, dinamika partisipasi rakyat dan suasana kebebasan yang berhasil diperoleh melalui perjuangan yang panjang melawan penjajahan, secara perlahan-lahan dilembagakan secara resmi melalui peranan partai-partai politik dan lembaga perwakilan rakyat. Karena itu, pada masa awal kemerdekaan itu, sejarah ketatanegaraan kita menyaksikan bahwa peranan partai-partai politik dan lembaga parlemen sangat kuat dalam berhadapan dengan pemerintah.
2. Pergeseran dari Pemerintah ke Parlemen
Sekarang kita telah memasuki era baru, yaitu era reformasi yang salah satu ciri pokoknya terwujud dalam agenda demokratisasi yang sangat luas skalanya dan menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat. Sejak tumbangnya rezim Orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang menyatakan berhenti Pada tanggal 21 Mel 1998, Ia digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie yang langsung bertindak sebagai Presiden yang memimpin sendiri pelaksanaan agenda reformasi sebagai perwujudan kehendak rakyat yang menginginkan berlangsungnya proses demokratisasi disemua sektor kehidupan secara cepat. Sejak itu, agenda demokratisasi itu terus bergulir dengan kecepatan tinggi, tetapi tetap dalam batas-batas kerangka reformasi dalam anti tidak berubah menjadi revolusi yang sama sekali tidak dapat dikelola efek-efek sampingannya.
Namun, sebelum membahas mengenai pelaksanaan agenda reformasi tersebut, perlu dikemukakan pula bahwa proses menguatnya peran partai politik dan lembaga parlemen itu dalam berhadapan dengan pemerintah sebenarnya telah mulai terlihat gejala-gejalanya sejak masa 10 tahun terakhir masa pemerintahan Presiden Soeharto. Hal ini antara lain dapat dilihat dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengaturan mengenai hak-hak anggota dan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat sejak tahun 1993. Misalnya, hak meminta keterangan (interpelasi) yang semula dipersyaratkan dapat diprakarsai oleh sekian orang, dalam Tata Tertib DPR-RI tahun 1993 dipermudah menjadi hanya 20 orang saja. Hak bertanya yang semula ditentukan harus 30 orang dipermudah menjadi 20 orang. Usul inisiatif perancangan IJU yang semula diharuskan minimal diusulkan oleh 2 fraksi, tidak lagi dikaitkan dengan fraksi, tetapi cukup 20 orang saja. Hal ini memperlihatkan mulai tumbulmya semangat dan keinginan untuk memperkuat peran DPR dalam menjalankan tugas-tugasnya, baik di bidang legislasi maupun pengawasan. Namun, sayangnya, kultur politik yang berkembang belum cukup menunjang sehingga dalam prakteknya, kemudahan-kemudahan yang dibuat itu belum terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Di samping itu, peran parlemen di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno juga memperlihatkan kecenderungan yang juga sangat kuat. Proses penggantian Presiden Soekarno juga dimulai dengan dikeluarkannya Memorandum DPRGR untuk meminta MPRS mengadakan Sidang Istimewa yang akhirnya diselenggarakan dengan baik pada tahun 1967 dan berhasil menetapkan Ketetapan MPRS No.XXXIII/ MPRS/1967 yang mengganti Presiden Soekarno dengan Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Artinya, peran parlemen di masa akhir sebuah rezim nampaknya selalu memperlihatkan gejala yang menguat. Penguatan peran parlemen itu sangat dipengaruhi oleh dinamika suasana politik yang mendukung, sehingga lembaga parlemen dapat menjalankan fungsinya sebaik-baiknya sebagai lembaga pengawas terhadap kinerja pemerintah. Sayangnya, kuatnya peran parlemen di masa awal Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto itu tidak berlangsung lama. Dalam perjalanan waktu bersamaan dengan berhasilnya Presiden Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaannya sebagai Presiden, kecenderungan menguatnya peran parlemen itu secara perlahan-lahan mengalami ‘set back’. Semua ini terjadi karena tidak terlembagakannya agenda penguatan parlemen itu dalam kerangka sistem ketatanegaraan yang baku, sehingga dapat dijadikan landasan yang kokoh dalam perkembangan ketatanegaraan di kemudian hari.
Oleh karena itu, fenomena kuatnya peran parlemen di akhir masa pemerintahan Presiden Soekarno dan di awal masa pemerintahan Presiden Soeharto, hanya fenomena di permukaan yang didorong oleh dinamika suasana politik yang bersifat temporer belaka. Oleh sebab itu, proses pergeseran kekuasaan yang berlangsung dan pemerintah ke parlemen yang sesungguhnya belumlah terjadi pada masa peralihan kekuasaan dan Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Pergeseran yang sesungguhnya, dapat dikalahkan, barulah terjadi pada masa peralihan menuju era reformasi dewasa ini.
Setelah gejala-gejala awalnya dapat diperlihatkan seperti Pada perubahan-perubahan Tata Tertib DPR-RI sejak tahun 1993 tersebut di atas, proses penguatan peran parlemen itu makin terlihat jelas sejak bulan Mel 1998. Seperti disebut di atas, setelah Presiden Soeharto berhenti, Presiden B.J. Habibie tampil memimpin sendiri pelaksanaan agenda demokratisasi sesuai aspirasi reformasi. Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintahan B.J. Habibie berhasil mengesahkan sebanyak 67 buah UU baru yang dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Kelompok Pertama yang untuk mendorong dan menampung aspirasi ke arah demokratisasi politik yang menjamin proses integrasi nasional dan sekaligus tingkat integrasi sosial dalam masyarakat, Kelompok Kedua ditujukan untuk menampung kebutuhan memberikan perlindungan dan memajukan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan Kelompok Ketiga ditujukan untuk mengatur jalannya pemulihan ekonomi dan mendorong proses reformasi ekonomi yang makin terintegrasikan ke dalam sistem ekonomi pasar.
Puncak dan upaya untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang menjamin kuatnya peran parlemen dalam berhadapan dengan pemerintah, diwujudkan pula dalam pelaksanaan agenda amandemen terhadap UUD 1945. Sejak awal masa pemerintahan reformasi pembangunan, Presiden B.J. Habibie telah membentuk Tim Nasional Reformasi menuju Masyarakat Madani. Dalam Tim Nasional ini, dibentuk Kelompok Hukum yang dliketuai oleh Jimly Asshiddiqie. Dalam Kelompok ini, secara khusus dibentuk pula satu Tim Khusus yang mengkaji dan membahas ide-ide pokok mengenai
Amandemen UUD 45 dan gagasan melakukan penyempurnaan terhadap Ketetapan MPRS tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia sebagai dua hal yang sangat penting dalam rangka penataan kembali sistem hukum dan ketatanegaraan kita yang antara lain dapat menjamin proses demokratisasi dan penguatan fungsi-fungsi parlemen dalam berhadapan dengan pemerintah.
Meskipun pada mulanya agenda amandemen UUD 1945 itu ditanggapi dengan ragu-ragu oleh banyal pihak, tetapi sekarang hal itu telah menjadi agenda resini yang dilaksanakan dengan baik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hash pemilihan umum 1999. Keragu-raguan itu, misalnya, terlihat dengan jelas dalam berbagai pernyataan para pemimpin partai politik besar seperti PDI-Perjuangan misalnya sampai menjelang diselenggarakarmya Sidang Umum MPR tahun 1999. Namun, aspirasi rakyat yang luas sangat kuat berkenaan dengan perubahan UUD 1945 itu. Karena itu, dalam Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu telah berhasil ditetapkan naskah Perubahan Pertama UUD 1945 yang berisi perubahan terhadap sembilan pasal penting. Agenda amandemen itu diteruskan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 dan bahkan akan terus dimantapkan lagi berkenaan dengan materi-materi yang belum terselesaikan pembahasan sampai tahun 2002. Jika dalam Perubahan Pertama berhasil diubah sebanyak sembilan pasal, maka dalam, Perubahan Kedua berhasil diubah sebanyak tujuh bab yang masing-masing terdiri atas beberapa pasal. Sisanya akan dibahas lebih lanjut juga cukup banyak, yaitu sebagaimana dapat dilihat dalam rancangan yang berhasil dihasilkan oleh Badan Pekerja MPR tercatat sebanyak lima bab lagi yang masing-masing mencakup beberapa pasal lainnya
Dalam rangka amandemen UUD UIJD 1945 tersebut secara khusus kita dapat melibat adanya perubahan dalam perumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) dalam naskah Perubahan Pertama hasil Sidang Umum MPR tahun 1999. Perubahan yang termuat dalam pasal-pasal ini jelas menggambarkan terjadinya pergeseran dalam kaitannya dengan kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang selama ini dikenal sebagai kekuasaan legislatif. Dalam perumusan Pasal5 ayat (1) lama dinyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR”. Dalam Perubahan Pertama, rumusan pasal tersebut diubah menjadi: “Presiden berhak mengusuilcan rancangan UU kepada DPR”. Sebaliknya, dalam Pasal 20 ayat (1) baru dinyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Padahal dulunya ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1): “Anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan UU.” Dengan perkataan lain, dalam hal membentuk UU sebagai produk hukum tertinggi di bawah UUD dan TAP MPR, kekuasaan pokoknya dligeser atau dialihkan dari tangan Presiden ke tangan DPR. Otomatis sejak itu segala kewenangan Presiden untuk mengatur, membuat regulasi, mengadakan legislasi, haruslah didasarkan atas kewenangan pokok yang sekarang sudah dialihkan ke DPR. Dengan demikian, salah satu prinsip yang selama ini mewarnai mekanisme hubungan antara pemerintah dan parlemen, yaitu pembagian kekuasaan (distribution of power), bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) , tidak lagi berlaku. Yang secara tegas berlaku sekarang justru adalah prinsip peinisahan kekuasaan (separation of power) itu.
Dalam ketentuan tambahan ayat (5) terhadap Pasal 20 terse- but yang ditetapkan dalam naskah Perubahan Kedua basil Sidang Tahunan MPR tahun 2000 juga makin tegas bahwa perumus naskah Perubahan UUD 1945 memandang panting artinya bahwa konstitusi kita itu menganut prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) . Dalam ayat (5) yang bersifat menambahkan kekurangan pada ketentuan ayat (4) diatur mengenai bak veto Presiden seperti yang dianut di Amerika Serikat. Pasal 20 ayat (4) yang ditentukan dalam Perubahan Pertama memang tercantum rumusan yang cenderung membatasi kekuasaan DPR, yaitu: “Presiden mengesahkan rancangan UU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.” Menyadari kekurangan ini, maka Sidang Tahunan MPR tahun 2000 menambahkan satu ayat lagi, yaitu ayat (5) yang berbunyl: “Dalam hal rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 han semenjak rancangan UU tersebut disetujui, rancangan UU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.” Sayangnya, ketentuan Pasal 20 ayat (2) tidak turut disempurnakan kembali. Ketentuan ayat (2) ini berbunyi: “Setiap rancangan UIJ dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Bahkan dalam ayat (3) dinyatakan: “Jika rancangan UU itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan UU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.” Mestinya, jika sudah dlibahas dan mendapat persetujuan bersama, tidak perlu lagi ada hak veto oleh Presiden. Karena itu, jika ketentuan hak veto yang diatur dalam ayat (4) dan (5) diadakan, sebaiknya, ketentuan pembahasan dan persetujuan bersama dalam ayat (2) dihapuskan.
Untuk mengatasi kekurangan itu, perlu diatur tersendiri mengenal mekanisme pengambilan keputusan untuk sampai Pada pengertian persetujuan bersama itu. Misalnya, dalam persidangan DPR dapat ditentukan bahwa subjek pengambil keputusan itu tetap para anggota DPR, sedangkan Presiden ataupun yang mewakilinya hanya berperan sebagai nara sumber. Kepentingan wakil pemerintah dalam pengambilan keputusan itu dapat dianggap sudah diwakili oleh para anggota partai politik pemerintah (the governing party). Karena dalam praktek, dapat saja terjadi bahwa proses pengambilan keputusan dilakukan melalui pemungutan suara. Jika partai pemerintah menguasai suara mayoritas di DPR tentu tidak banyak menimbulkan masalah. Tetapi, jika partai pemerintah tidak menguasai mayoritas suara, dalam pemungutan suara kepentingan pemerintah bisa saja dikalahkan. Dalam hal demikian, dapatkah dikatakan bahwa Presidenlah yang alan menentukan sah tidaknya RUU tersebut menjadi UU dengan berdasarkan ketentuan ayat (2) juncto ayat (4). Kekisruhan dan kekurangan ini tenth masih harus dipexjelas dalam ketentuan yang lebih rinci dalam UU tersendiri.
Namun demikian, terlepas dan kekurangan-kekurangan tersebut, kekuasaan membentuk UU itu secara tegas telah dinyatakan berada tangan DPR, bukan lagi di tangan Presiden. Kalaupun kepentingan pemerintah yang disalurkan melalui para anggota DPR dan partai pemerintah itu, tetap tidak memenuhi harapan, maka dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disahkan oleh DPRD itu, Presiden masih dapat menyatakan keberatannya dengan meminta pembahasan tambahan. Tetapi, jika setelah dibahas ulang, tetap tidak dicapai putusan mengenal perubahan yang diusulkan oleh pemerintah, maka sudah seharusnya RUU tersebut sah menjadi UU, dan pengundangannya wajib dilakukan sebagaimana mestinya. Siapa yang akan mengundangkannya dalam Lembaran Negara, juga masih perlu diatur kembali. Karena terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif tersebut, sudah seyogyanya dipikirkan kembali kemungkinannya bahwa administrasi pengundangan UU itu juga diajukan ke DPR, bukan lagi oleh sekretariat negara. Dengan demikian, tidak akan ada lagi ganjalan untuk menegaskan bahwa kekuasaan membentuk UU itu benar-benar berada di tangan DPR, bukan lagi di tangan Presiden.
Di samping berkaitan dengan fungsi legislatif ini, penguatan fungsi DPR kita dewasa ini juga meningkat tajam dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan. Fakta-fakta yang mendukung kesimpulan ini dapat diperluas dengan melihat indikator-indikator lainnya seperti peranan partai politik, peranan lembaga MPR, peranan LSM dan kelompok-kelompok kepentingan yang menyalurkan suara rakyat melalul mekanisme parlemen, dan lain-lain. Dengan demikian, peningkatan peranan DPR itu tidak saja menyangkut fungsinya di bidang legislasi, tetapi juga dalam fungsinya di bidang pengawasan dan bahkan fungsi anggaran (budget).
Peningkatan fungsi pengawasan oleh DPR itu, dapat pula dilihat dan perkembangan ketentuan yang dijadikan landasan ket:ja bagi DPR untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Dalam Tata Tertib DPR-RI yang sekarang berlaku, hak-hak yang dapat digunakan oleh DPR ataupun para anggota DPR makin jelas dan makin mudah dilaksanakan. Bahkan, ketentuan mengenai hak-hak DPR dan anggota DPR itu dicantumkan secara konkrit dalam naskah Perubahan UUD 1945. Hak-hak Presiden sebagai Kepala Negara untuk mengangkat Duta Besar dan Konsul, serta hak untuk memberikan amnesti dan abolisi yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UUD 1945 sebelumnya ditentukan bersifat mutlak berada di tangan Presiden, sekarang ditentukan harus mendapatkan pertimbangan terlebih dulu dan DPR. Bahkan dalam Perubahan Kedua UUD 1945, ditambahkan pula Pasal 20A baru yang berisi 4 ayat, yaltu: “(i) DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. (2) Dalam melalcsanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam UU”.” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedudukan DPR, baik sebagai lembaga legislatif maupun sebagai lembaga pengawas, mendapatkan jaminan konstitusional yang kokoh dapat dijadikan landasan yang sangat kuat untuk meningkatkan peran aktualnya yang makin nyata di masa-masa mendatang.
Penguatan peran DPR itu dalam berhadapan dengan pemerintah merupakan cerminan terjadinya pergeseran kekuasaan yang nyata, baik dalam bidang legislasi maupun dalam bidang pengawasan politik. Pergeseran kekuasaan dan pemerintah ke parlemen ini jelas merupakan kemajuan yang sangat penting yang dicapai pada masa reformasi sekarang ini. Penguatan dan proses peningkatan peran DPR yang dihasilkan melalui agenda amandemen UUD ini bersifat strategis dan berjangka panjang, sehingga tidak hanya tergantung kepada perubahan dinamika politik yang bersifat sesaat dan kondisional seperti di masa awal Orde Baru. Dengan adanya ketentuan yang tegas dirumuskan dalam UUD yang tentunya akan lebih dirinci lagi dalam UU, kita telah berhasil melakukan penataan perangkat keras untuk mendorong penataan lebih lanjut berkenaan dengan peningkatan peran parlemen dalam berhadapan dengan pemerintah. Itu sebabnya, dalam perkembangan sejak kemerdekaan, proses pergeseran kekuasaan itu selama ini berlangsung dari parlemen ke pemerintah, sedangkan sekarang sejak era reformasi Pada tahun 1998 yang gejala-gejala awalnya sudah dimulai sejak tahun 1993, sedangkan berlangsung proses pergeseran kekuasaan dan pemerintah ke parlemen. Akan tetapi, untuk kepentingan tulisan ini, apa yang dikemukakan di atas kiranya cukup untuk membuktikan sedang berlangsungnya proses penguatan lembaga perwakilan rakyat kita dalam berhadapan dengan pemerintah yang tentu akan sangat menentukan perjalanan bangsa kita menjadi makin demokratis dan berkeadilan di masa depan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Dari Pemaparan yang dijelaskan dalam makalah di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran-pergeseran kekuasaan kekuasaan legislatif dan eksekutif dimana dimulai dari pergeseran kekuasaan dari pemerintah (eksekutif) ke parlemen (legislatif) yang dimulai dari abad ke-18 sampai abad ke-19. Pergeseran kekuasaan ini terlihat dari fungsi negara yang cenderung dibatasi karena munculnya kesadaran umum masyarakat akan makna demokrasi dan hak-hak rakyat sebagai gerakan aufklarung, rasionalisme, sekulerisme dan revolusi industry yang terjadi di Eropa Barat. Dengan adanya revolusi itu, masyarakat Eropa mengalami kebangkitan luar biasa dan mendorong untuk munculnya usaha-usaha untuk membatasi kekuasaan yang dipegang oleh Raja. Peran negara di sini sangat terlalu terbatas yaitu hanya sebagai negara penjaga malam (Nachwaetherstaat) dan sedikit terlibat dalam urusan individu yang terkenal dengan dalil “The least government is the best goverment” . Begitu pun di Indonesia, pada masa pasca proklamasi terjadi kecendrungan kekuasaan legislatif yang besar dikarenakan sedang populernya perjuangan hak asasi manusia atau demokrasi liberal yang menyebabkan pemerintah tidak dapat berbuat banyak.
Namun pada abad ke-20 terjadi perubahan yang mendasar dalam perkembangan mengenai parlemen. Selam abad ke-20 kecendrungan terjadinya pergeseran kekuasaan dari eksekutif ke legislatif atau dari pemerintah ke parlemen mengalami kemandekan. Dimana dalam hal pembuatan Undang-Undang terutama soal hak inisiatif rancangan Undang-Undang lebih banyak datang dari pemerintah. Dalam hal ini, tidak terlalu mengherankan karena pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Apalagi kalau negara terebut tergolong ke dalam negara kesejahteraan (welfare state). Gejala ini pun terjadi di Indonesia meskipun telah diadakannya amandemen UUD 1945 yang dimana letak kekuasaan membuat Undang-Undang ada di parlemen, namun kebanyakan rancangan Undang-Undang datang dari pemerintah.
3.2. Saran-saran
1. Berdasarkan kesimpulan yang kami peroleh, adapun saran yang bisa kami berikan dengan adanya pergeseran kekuasaan perlemen menuju pemerintah pada abad ini adalah dengan dioptimalkannya fungsi legislasi dari parlemen. Dengan adanya hak inisiatif dari pemerintah dalam mengajukan rancangan Undang-Undang, maka kecendrungan akan tebentuknya kebijakan-kebijakan yang lebih memihak pada kepentingan pemerintah (eksekutif heavy). Dengan adanya hal itu, maka pengoptimalan fungsi legislasi dari parlemen harus lebih ditindak lanjuti.
2. Selain peningkatan fungsi legislasi, parlemen juga harus meningkatkan fungsi pengawasan atau control terhadap jalannya pemerintahan sehingga jalannya pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan berdasarkan kehendak rakyat. Untuk itu, parlemenlah sebagai wakil dari rakyat yang harus melakukan kontrol terhadap pemerintah agar kekuasaan pemerintah yang cenderung besar tidak menuju pada kekuasaan yang absolut mutlak. Karena berdasarkan dalil kekuasaan besi yang dikemukakan oleh Lord acton dalam bukunya Miriam Budiardjo berbunyi “Power tent to corrupt, but absolute power absolutely”(Orang yang memiliki kekuasaan akan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, tetapi orang yang memiliki kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakan kekuasaannya secara tidak terbatas pula).
bagus dek, keep posting..by the way lantang gati nah...
BalasHapusOk bos,, nanti saya bagi perbab,, thank u
Hapus